REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti memberikan analisis menarik terkait langkah Partai Golkar yang getol menolak pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Padahal, kata dia, Golkar sebagai partai yang punya pemilih setia bakal tetap mendulang suara meski menggunakan sistem proporsional tertutup.
Menurut Ray, Golkar tegas menolak sistem proporsional tertutup bukan karena cemas suaranya bakal anjlok, melainkan karena takut sirkulasi kepemimpinan di intra partai berlogo pohon beringin itu kacau.
"Bagi Golkar, sistem proporsional tertutup bakal membuat sirkulasi pimpinan partai jadi tidak sehat," ujar Ray kepada wartawan, Selasa (21/2/2023).
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.
Ray menjelaskan, dalam sistem proporsional tertutup, caleg akan berlomba-lomba mendapatkan nomor urut teratas agar bisa memenangkan kursi parlemen. Untuk mendapatkan nomor urut teratas, tentu kader harus sabar menanti seniornya atau orang yang dekat dengan ketua umum tidak mencalonkan lagi.
Cara lain untuk mendapatkan nomor urut teratas, lanjut dia, adalah dengan merebut kepemimpinan partai. Hal ini lah yang ditakutkan Golkar sebagai partai politik yang selama ini sirkulasi elite-nya terbilang lancar.
"Kalau sistem proporsional tertutup berlaku, bakal terjadi kudeta-kudeta ketua umum partai. Karena itu caranya bisa naik ranking," kata Ray.
"Kalau Anda baru masuk partai, maka akan dapat nomor urut 8 misalnya. Untuk dapat nomor urut 1 harus tunggu 20 tahun, itu pun kalau Anda berumur panjang. Cara yang paling efektif ya dengan menkudeta ketua umum sehingga bisa naik cepat rank-nya," imbuh Ray.
Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui kini masih memproduksi gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka. Gugatan itu dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Pada intinya, mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sementara sidang bergulir, partai politik parlemen terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, PKB, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.