REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan, jumlah transaksi kripto pada Januari 2023 sebesar Rp 12 triliun. Angka itu turun dibandingkan rata-rata transaksi bulanan pada 2022 yang mencapai Rp 25 triliun.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan, nilai transaksi kripto sepanjang 2022 sebesar Rp 306,4 triliun. Angka tersebut menurun 64,3 persen dibandingkan dengan 2021 yang mencapai Rp 858,76 triliun.
"Kita bandingkan 2022 yang terakhir-terakhir pun pergerakannya tidak beda jauh, 2022 paling tinggi di awal-awal. 2022 itu rata-rata transaksi bulanan Rp 25 triliun, tapi dipengaruhi transaksi kuartal awal 2022 yang masih besar," ujar Tirta usai menghadiri acara Crypto Consumer Summit di Jakarta, Selasa (21/2/2023).
Tirta menyampaikan, turunnya transaksi kripto terjadi karena beberapa faktor seperti pasar yang mulai jenuh, melemahnya aset kripto, hingga kejatuhan Luna atau token kripto dalam jaringan Terra dan pasar kripto terbesar, FTX. Menurut Tirta, hal ini berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi pada aset kripto.
Bappebti sampai saat ini masih mempelajari penyebab dari turunnya transaksi kripto. Harapannya, Februari ini nilai aset kripto bisa hijau kembali meski tidak setinggi capaian periode 2021.
"Beberapa pekan ini beberapa mothers coin seperti Bitcoin, Solana mulai hijau. Harapannya kalau sudah mulai menarik seperti ini, investor mulai masuk. Kita wait and see apakah transaksi Februari ini bisa naik lagi," kata Tirta.
Guna mencegah terjadinya kejatuhan pasar kripto di Amerika, Bappebti telah memiliki regulasi untuk melindungi konsumen. Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pengembangan Peraturan Sektor Keuangan (P2SK).
Melalui undang-undang ini nantinya akan ada sedikit pergeseran kewenangan, bahwa perdagangan fisik aset kripto yang semula ada di dalam pengawasan Bappebti atau Kementerian Perdagangan akan bergeser di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pengalihan ini diharapkan dapat memberikan ruang peraturan dan manajemen risiko yang lebih baik, terutama terkait dengan sektor fiskal yang nantinya dapat berpengaruh pada kestabilan sistem keuangan di Indonesia.