REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Amazon Web Services (AWS) berkolaborasi dengan mitranya, firma konsultasi manajemen kinerja global asal Amerika Serikat, Gallup melakukan salah satu survei internasional terbesar tentang keterampilan digital.
Untuk penelitian ini, Gallup menyurvei lebih dari 30 ribu pekerja dengan akses ke internet di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, serta 16 negara besar lainnya yang menyumbang 67 persen dari nilai total pekerjaan yang membutuhkan keterampilan digital lanjut untuk menambah ekonomi global.
Head of Learning and Development, APAC, Gallup, Purva Hassomal dalam acara media briefing Mengupas Hasil Riset Digital Skills Terbaru AWS dan Gallup memaparkan terkait gaji premium, pekerja di Indonesia dengan keterampilan digital tingkat lanjut berpenghasilan 121 persen lebih banyak. Kemudian, pekerja dengan keterampilan digital tingkat lanjut di Malaysia menghasilkan 106 persen lebih banyak. Sementara itu, pekerja dengan keterampilan digital tingkat lanjut di Singapura menghasilkan 123 persen lebih banyak.
Lalu, 88 persen pekerja Indonesia dengan keterampilan digital tingkat lanjut mengalami kepuasan kerja yang tinggi. Pun, 74 persen pekerja Malaysia dan 54 persen pekerja Singapura dengan keterampilan digital tingkat lanjut mengungkapkan kepuasan kerja yang tinggi.
Penelitian juga menemukan bahwa ketika pemberi kerja menggunakan keterampilan digital secara aktif, apakah itu memanfaatkan operasi berbasis cloud atau mempekerjakan pekerja yang terampil secara digital, mereka melihat keuntungan yang signifikan.
“Kami melihat 21 persen (organisasi) Indonesia, 25 persen organisasi Malaysia yang melaporkan pendapatan tahunan dua kali lipat atau lebih dibandingkan dengan masing-masing 12 dan tujuh persen dari mereka yang menggunakan cloud untuk beberapa atau tidak sama sekali bisnisnya,” ujar Hassomal.
Di Singapura, lebih lanjut Hassomal mengatakan, 67 persen organisasi yang menjalankan sebagian besar bisnisnya di cloud lebih cenderung mengalami pertumbuhan target pendapatan yang stabil dibandingkan dengan 46 persen yang menggunakan cloud di tempat lain. Selain itu, penelitian menemukan organisasi berbasis cloud jauh lebih mungkin untuk menghadirkan produk baru dan inovatif ke pasar dalam dua tahun terakhir dibandingkan rekan mereka, tetapi tidak menggunakan cloud untuk bisnis mereka.
Meskipun melihat semua peluang dan manfaat yang dapat diberikan oleh pekerja digital ke tenaga kerja mereka, organisasi merasa sangat sulit untuk mempekerjakan pekerja digital yang mereka butuhkan. Penelitian tersebut menemukan bahwa setidaknya delapan dari 10 organisasi di Singapura dan Malaysia, serta Indonesia mengatakan mereka kesulitan mempekerjakan pekerja digital.
Biasanya,Hassomal menjelaskan, kurangnya pendidikan formal menjadi penghalang. Banyak dari pekerja yang terampil secara digital di sebuah perekrutan mengenyam beberapa pendidikan, mengikuti program sertifikasi daring, atau berpotensi otodidak.
“Kami melihat dalam penelitian sentimen berubah dengan pemberi kerja. Jadi, di negara-negara ini, setidaknya tiga perempat pemberi kerja, setuju atau sangat setuju bahwa sertifikasi atau pelatihan digital dapat diterima untuk pengganti gelar universitas,” katanya.