REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, agara bisa diterima masyarakat, fatwa yang ditetapkan harus dipastikan dapat terimplementasi. Karena itu sebelum fatwa ditetapkan, menurut dia, mufti harus mengenal bagaimana kondisi mustafti dan dampak yang ditimbulkan dalam hal implementasi fatwa.
"Fatwa harus melihat realitas sosial di mana dan bagaimana fatwa diminta, dan apa dampak yang ditimbukan jika fatwa dilaksanakan. Siapa yang akan melaksanakan dan dalam konteks apa," ujar Niam dalam pidato ilmiahnya saat pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta di Auditorium Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Dia pun memberikan contoh seperti fatwa-fatwa terkait Covid-19. Menurut dia, penerapan protokol kesehatan saat wabah Covid-19 juga berpengaruh dalam redefinsi pemahaman dan praktik hukum Islam, khususnya ibadah yang dilaksanakan secara berjamaah.
Misalnya, ibadah shalat Jumah itu adalah suatu kewajiban. Namun, sebagian masyarakat menilai kewajiban tersebut harus dilaksanakan dan ada pula yang berpendapat tidak dapat ditinggalkan meski ada wabah, sehingga ada dilema dan kegamangan.
"Atas dasar itulah kemudian Majelis Ulama Indonesia melakukan pembahasan dan penetapan fatwa tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang ditujukan sebagai panduan bagi umat Islam untuk tetap taat menjalankan ibadah, tapi komitmen terhadap penanggulangan wabah," ucap Niam.
"Pertimbangan untuk mencegah mafsadah didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan. Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Mashalih," imbuhmya.
Kemudian saat Ramadhan dan Idul Fitri 2020, menurut dia, MUI juga menetapkan fatwa tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19. Salah satu yang diatur dalam Fatwa ini adalah ketentuan shalat Idul Fitri di rumah. Menurut dia, hal itu merupakan sesuatu yang tidak lazim, tetapi dibolehkan secara fikih.
"Di awal penetapan fatwa, tidak jarang muncul pro-kontra, resistensi, bahkan tuduhan pendangkalan keagamaan. Namun akhirnya Fatwa-fatwa MUI terkait dengan Covid-19 diterima sebagai panduan dalam perilaku keagamaan publik dan juga dijadikan dasar serta rujukan dalam menetapkan kebijakan publik," kata Niam.
Lebih lanjut, Niam menjelaskan bahwa survei yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI dengan responden 13.549 orang muslim yang menguji pengetahuan umat Islam terhadap Fatwa MUI terkait pencegahan penyebaran Covid-19, menunjukkan tingginya penerimaan fatwa MUI di tengah masyarakat.
Ketika disodori pertanyaan “Apakah Anda tahu fatwa MUI Pusat tentang pencegahan penyebaran Covid-19?”, mayoritas responden mengetahui keberadaan Fatwa MUI No.14/2020, yaitu sebesar 95.98 persen dan juga memahami isinya. Hanya 4,02 persen yang tidak mengetahuinya.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan mengenai kesiapan mengikuti fatwa MUI, Sebanyak 95, 38 persen responden menyatakan kesiapannya untuk mentaati fatwa MUI dalam hal tidak shalat jamaah dan Jumatan di masjid jika wilyahnya tidak terkendali. Sementara itu masih ada 3,78 persen responden yang menyatakan tidak siap.
"Pendekatan fatwa dengan memperhatikan aspek tathbiqi ini memungkinkan fatwa bisa hidup dan menjadi panduan dalam perilaku keagamaan publik, meski menghentak kesadaran keagamaan yang selama ini telah terpraktekkan lama," jelas Niam.
Sekadar informasi, dalam pengukuhan Guru Besar tersebut dihadiri Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Ketua Umum Al-Irsyad al-Islamiyah Faishal Madhi, dan puluhan rektor perguruan tinggi.