Kamis 23 Feb 2023 13:36 WIB

BI Perketat Aturan Devisa Parkir, Ketua DPD RI: Harus Antisipasi Pola Counter Trade

Pelaku counter trade atau ijon sering kali tarik pinjaman untuk eksploitasi tambang

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, melihat aturan tersebut belum bisa menjawab pola counter trade (sistem ijon) yang kerap ditempuh oleh para eksportir di Indonesia. Demikian dikatakan LaNyalla, Kamis (23/2/2023).
Foto: Dok DPD
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, melihat aturan tersebut belum bisa menjawab pola counter trade (sistem ijon) yang kerap ditempuh oleh para eksportir di Indonesia. Demikian dikatakan LaNyalla, Kamis (23/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik soal banyaknya pengekspor yang memarkir dananya di luar negeri, belakangan menjadi perbincangan hangat. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut bumi Indonesia hanya dikeruk, tapi dolarnya di luar negeri. 

Karena itu, mulai tahun 2022, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah kembali memberlakukan sanksi untuk pengekspor yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan berdampak terhadap penguatan cadangan devisa (cadev). 

Namun, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, melihat aturan tersebut belum bisa menjawab pola counter trade (sistem ijon) yang kerap ditempuh oleh para pengekspor di Indonesia. 

"Pertama, masih banyak pengusaha pengolah SDA yang menerapkan skema counter trade atau ijon. Mereka menarik pinjaman luar negeri untuk eksploitasi tambang, kebun dan lain lain, yang pembayarannya lewat hasil produksi. Jadi wajar saja, setiap ekspor hanya dicatat dalam pembukuan, tapi tidak masuk ke dalam negeri. Itu devisa dikuasai oleh lender,” kata LaNyalla, Kamis (23/2/2023).

Kedua, lanjut Ketua Dewan Penasehat KADIN Jatim itu, mereka kadang menggunakan lembaga keuangan sebagai S/A (special assignee) di luar negeri, dengan skema non-arbitrase

“Artinya, jaminannya ya hasil tambang itu sendiri. Jadi wajar kalau semua hasil ekspor masuk ke rekening lembaga keuangan. Pengusaha hanya mencatat saja dalam pembukuan, yang konsekuensinya bayar pajak,” katanya. 

Yang berbahaya, timpalnya, adalah sikap tersebut ditempuh sebagai pilihan karena mereka tidak tidak percaya kepada stabilitas politik dan kinerja pemerintah. Sehingga kalau terjadi chaos, tinggal angkat koper terbang ke luar negeri. Apalagi, uangnya sudah di sana. 

“Ini mentalitas pengusaha yang tidak punya nasionalisme. Karena mungkin mereka tidak merasa Indonesia tanah airnya. Dan memang tidak pernah dididik wawasan kebangsaan dan nasionalisme,” katanya. 

LaNyalla juga menyinggung bagaimana Pemerintah Tiongkok sangat ketat menjaga moneter mereka. Selain melakukan due diligence sumber dana investasi asing, mereka juga memeriksa skema investasi itu terindikasi cross settlement dengan account lender di luar negeri. 

“Di China, kalau terindikasi perusahaan punya rekening di luar negeri tanpa terafiliasi dengan dalam negeri, dianggap korupsi. Makanya Indonesia jadi surga investasi dengan skema apa pun. Apalagi, dengan segudang fasilitas sumber daya dari negara, mulai kredit longgar, konsesi, tax holiday dan lain lain,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement