REPUBLIKA.CO.ID, ANTAKYA -- Truk, kendaraan darurat, dan ekskavator berbaris di jalan-jalan sepi di Kota Antakya, Turki pada Selasa (21/2/2023) malam, setelah gempa bumi besar ketiga dalam dua minggu terakhir. Gempa bumi mempercepat eksodus dari kota yang identik dengan keramaian.
Di jalanan yang gelap gulita, lampu depan yang melintas memperlihatkan gundukan puing, dan bingkai jendela yang pecah. Kilatan lampu merah dan biru dari kendaraan militer dan polisi terpantul di fasad bangunan miring yang bergerigi.
Suara ekskavator mencakar puing-puing bangunan bergema di jalan-jalan saat polisi, tentara, dan petugas penanggulangan bencana berkerumun di sekitar api kecil yang menghiasi trotoar yang retak. Terkadang penggalian berhenti dan pekerja darurat memeriksa apakah kemungkinan ditemukan jenazah korban gempa.
“Semua orang pergi,” kata Mehmet Ay, seorang korban gempa berusia 50 tahun yang telah tinggal di Antakya sepanjang hidupnya.
Ay merupakan salah satu dari sedikit penduduk Antakya yang tersisa. “Mereka telah mati atau telah melarikan diri," ujarnya.
Dari kejauhan, pemandangan kota yang tajam dari gedung-gedung tinggi kini tampak berkerut. Bongkahan tepi sungai runtuh ke dalam air, sementara tentara memblokir jembatan yang rusak.
Papan reklame hancur dan papan nama berserakan di antara puing-puing, sebagai pengingat bahwa terdapat deretan pertokoan yang biasa memenuhi jalan-jalan yang sibuk.
“Jalanan kami dulunya adalah surga. Dalam satu malam, semuanya hancur," kata Ay.
Ay berlindung bersama istrinya Fatmeh dan putri mereka di salah satu kamp yang didirikan untuk memberikan perlindungan sementara bagi mereka yang kehilangan rumah. Sebuah generator meraung di atas obrolan orang-orang yang berkumpul di sekitar tungku kayu di luar tenda mereka.
"Kita tidak bisa meninggalkan kamp. Sulit untuk berjalan-jalan karena ada bahaya ke mana pun Anda pergi. Bangunan-bangunan itu berbahaya. Sebelum Anda menyadarinya, sebuah struktur dapat runtuh menimpa Anda," ujar Ay.
Ay mengatakan, dia berencana untuk tetap tinggal di Antakya. Menurutnya rekonstruksi Antakya akan memakan waktu cukup lama. Namun dia yakin kotanya akan kembali pulih
“Ini akan memakan waktu lama, bertahun-tahun - tetapi kami akan membangunnya kembali. InsyaAllah akan lebih baik dari sebelumnya," kata Ay.
Sebelumnya, saat matahari terbenam di alun-alun di sebelah balai kota, tentara, sukarelawan, dan penyintas antri di truk makanan untuk makan malam dan minum teh. Di sebuah bundaran, patung pendiri Turki modern Mustafa Kemal Ataturk masih berdiri kokoh. Tepat di bawahnya, sebuah plakat marmer dengan kutipan terkenalnya tentang Provinsi Hatay hancur akibat gempa.
“Bencana menimpa kita semua,” kata Saleem Fawakirji, seorang pencuci piring berusia 57 tahun yang telah tinggal di Antakya selama 12 tahun setelah melarikan diri dari Suriah. “Orang kaya dan miskin sama saja,” tambah istrinya, Walaa.
Fawakirji dan Walaa bersama dua putri dan seorang putra mereka selamat dari gempa pada 6 Februari lalu. Mereka berhasil merangkak keluar dari celah kecil di reruntuhan.
Namun putra sulung mereka tidak meninggal tertimpa reruntuhan. Fawakirji mengatakan, keluarganya tidak memiliki rencana untuk meninggalkan Kota Antakya yang kini sepi.
“Lihat bagaimana Tuhan memberi kita semua kehidupan lain kecuali anakku. Mengapa mengambil risiko sekarang?," ujar Fawakirji.