REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Putri tokoh hak sipil Amerika Serikat Malcolm X, Ilyasah Shabazz, akan menuntut banyak lembaga pemerintah Amerika Serikat karena oknum di dalamnya diduga menyembunyikan peran mereka dalam pembunuhan sang ayah dengan tembakan pada 21 Februari 1965. Dia mengajukan gugatan senilai 100 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun.
Ilyasah bergabung dengan pengacara hak sipil Ben Crump untuk mengajukan gugatan kematian ayahnya terhadap unit dan lembaga pemerintah AS. Di antaranya Departemen Kepolisian New York (NYPD), Biro Investigasi Federal (FBI), dan pusat agensi intelijen atau Central Intelligence Agency (CIA).
"Selama bertahun-tahun keluarga kami telah memperjuangkan kebenaran terungkap tentang pembunuhannya, dan kami ingin ayah kami menerima keadilan yang layak diterimanya. Kami berharap litigasi kasus ini pada akhirnya akan menjawab beberapa pertanyaan yang masih misterius. Kami ingin keadilan ditegakkan untuk ayah kami," kata dia, dilansir Aljazeera, Kamis (23/2/2023).
Ketika peristiwa pembunuhan terhadap ayahnya terjadi, Shabaz berumur dua tahun, usia balita yang sangat membutuhkan kasih sayang ibu dan sang ayah yang dikenal sebagai pejuang keadilan dan kesetaraan di negeri yang kini paling getol menggelorakan hal tersebut.
Saat itu Malcolm bersiap untuk memberikan pidato di New York City, di tempat yang sama kini Shabazz datangi untuk mengumumkan niatnya melayangkan gugatan terhadap alat kekuasaan pemerintah tadi pada Selasa (21/2/2023).
Pembunuhan pemimpin kulit hitam itu telah lama menjadi bahan spekulasi tentang potensi keterlibatan tim senyap. Keyakinan itu tetap diperdebatkan tetapi mencerminkan skeptisisme yang lama terhadap lembaga seperti FBI, badan intelijen dalam negeri yang menyusup ke dalam kelompok kulit hitam selama masa jabatan pendiri badan tersebut J Edgar Hoover.