REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasien penderita kanker kepala dan leher bisa mengalami gangguan psikiatri dengan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kanker lainnya seperti paru-paru dan payudara. Hal ini karena kanker kepala dan leher terjadi di area yang terlihat seperti benjolan jika menderita kanker lasofaring di leher.
"Angka kejadian depresi itu bisa mencapai 50 persen pada populasi pasien dengan kanker kepala dan leher," kata dokter spesialis kedokteran jiwa konsultan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Feranindhya Agiananda SpKj(K) dalam diskusi bertajuk "Terapi Suportif pada Kanker Kepala dan Leher" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (23/3/2023).
Dia menyebut, terapi yang dilakukan biasanya juga mengubah bentuk fisik sehingga pasien merasa bukan dirinya lagi. "Tentunya berdampak besar pada kondisi psikologis dari pasiennya dan juga keluarga tentunya yang mendampingi jadi memang besar sekali peranan dari aspek kesehatan mental ini," ujar dokter yang biasa disapa Fera itu.
Depresi yang dirasakan pasien kanker kepala dan leher bisa membuatnya tidak semangat dalam menjalani perawatan, putus asa, kehilangan daya juang untuk melawan kanker dan bisa memperburuk hasil dari tata laksana yang sudah direncanakan. Dr Fera mengatakan, tidak semua pasien kanker harus menjalani terapi psikiatri.
Sebelum melakukan terapi, biasanya dokter penanggung jawab akan mengobservasi permasalahan yang mungkin dihadapi olehpasien kanker. Jika dirasa ada hal-hal yang penting untuk dikelola, dokter penanggung jawab akan menghubungi tim untuk melakukan tatalaksana secara bersama-sama.
Dia juga menjelaskan, terapi psikiatri tidak selalu akan diberi obat. Biasanya yang awam dilakukan adalah psikoterapi yaitu terapi berbincang-bincang untuk melihat masalah yang sedang dihadapi oleh pasien maupun keluarganya, seperti kecemasan karena tidak tahu apa yang akan dihadapi dan masih dalam tahap rasional atau tidak. "Sering kali orang cuma karena tidak tahu apa yang akan dihadapi karena khawatir akan masa depannya, sering kali kita ruwet sama pikiran kita mikirnya sudah jauh duluan padahal belum tentu apa yang seperti kita bayangkan," ujarnya.
Dalam proses psikoterapi, psikiater mengajak pasien berdiskusi bagaimana cara-cara berpikir secara lebih realistis dan tidak membuat pasien menjadi mudah cemas. Namun jika psikoterapi tidak cukup karena gejala kecemasan yang cukup hebat sampai mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, psikiater bisa memberi obat yang sesuai gejalanya.
"Obat-obatan yang diberikan itu pasti ada tujuannya dan akan dipantau oleh teman-teman dari psikiatri. Selama dipantau oleh dokter tidak perlu khawatir akan terjadi kecanduan atau akan terjadi ketergantungan karena semuanya sudah dipantau," kata dia.