REPUBLIKA.CO.ID, Denpasar—Staf Khusus Wakil Presiden sekaligus Guru Besar UIN Jakarta, Prof Masykuri Abdillah menjelaskan hakikat toleransi dalam beragama. Terdapat beberapa poin penting yang disampaikan menyangkut penguatan toleransi dalam kehidupan beragama.
Hal itu dia sampaikan dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Penguatan Toleransi Beragama dan Integrasi Nasional” pada acara Sekolah Toleransi oleh Mahasiswa Religions Studies UIN Jakarta di Universitas Negeri Hindu (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa, Bangli, Denpasar (23/02/2023). “Untuk membangun integrasi nasional itu dibutuhkan kerukunan dan toleransi,” ujarnya.
Prof Masykuri menjelaskan, ada perbedaan makna antara kerukunan dan toleransi beragama. Toleransi adalah sikap memahami orang lain dan tidak mengganggu orang lain yang berbeda, baik beda ras, kelompok agama atau kelompok politik.
Toleransi sendiri, kata dia, mencakup dua hal, toleransi negatif (negative interpretation of tolerance), yaitu membiarkan orang lain beragama, dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance) yang tidak hanya membiarkan agama seseorang, tapi sekaligus bekerjasama dengan orang lain berbeda dalam mewujudkan keharmonisan.
“Toleransi positif itulah di Indonesia yang disebut dengan kerukunan. Jadi kerukunan itu lebih dari sekedar toleransi karena juga membangun kerja sama. Inilah alasan mengapa kita sering menggunakan istilah kerukunan agama bukan toleransi beragama,” kata dia.
Dalam rangka menguatkan toleransi beragama di Indonesia, Prof Masykuri tawarkan 4 hal yang harus dilakukan saat ini;
Pertama, sosialisasi kerukunan melalui empat bingkai: teologis, sosisologis (kultural), politik kebangsaan dan yuridis yang dilakukan melalui pendidikan dan interkasi sosial.
Kedua, penguatan status hukum serta anggaran dan kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di semua wilayah, terutama sebagai mediator perselisihan antarumat bergama.
Ketiga, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok lain.
Keempat, penguatan peran Pemerintah Daerah (Pemda) dalam bentuk pembuatan peta konflik serta pencegahan dan penyelesaian konflik/perselisihan tanpa pertimbangan politis.
“Intinya yang harus kita pahami adalah toleransi itu berada dalam wilayah sosiologis (sosiologycal tolerance) tapi tidak dalam wilayah teologis atau keyakinan (teologycal tolerance),” paparnya.
Sebagai informasi, Sekolah Toleransi diinisiasi langsung oleh Pengurus Himpunan Mahasiswa Program (Studi) Studi Agama-Agama UIN Jakarta ini berhasil melaunching Sekolah Toleransi Se-Indonesia yang bertajuk “Pojok Toleransi” kemarin (22/02/2023). Menurut Ketua Pengurus HMPS SAA UIN Jakarta, Nor Mahmudi, Pojok Toleransi yang dideklarasikan akan berlangsung secara berkala di sejumlah daerah di Indonesia.
Acara tersebut menggandeng Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dengan melibatkan sejumlah peserta dari berbagai agama di Indonesia, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Islam, dan Agama Baha’i. Mereka datang dari berbagai universitas yang tersebar di Indonesia.
Hadir dalam launching tersebut Kepala BPIP RI Prof Yudian Wahyudi, Rektor UHN Sugriwa Prof Gusti Ngurah Sudiana, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI Prof Suyitno dan Dosen Filsafat Hindu UHN Sugriwa Dr. I Gede Suwantana.