Koran-koran lawas dipamerkan menyambut perayaan Hari Pers Nasional di Medan awal Februari 2023. Media melaporkan sepinya pameran yang juga menampilkan foto-foto tokoh pers perjuangan itu.
Lalu ada media yang mengulas peran Parada Harahap sebagai tokoh pers perjuangan. Pada awal kariernya, Parada memang bergabung di koran yang memperjuangkan kemerdekaan: Benih Merdeka dan Sinar Merdeka. Tapi begitu pindah ke Batavia, banyak yang mencatat semangat perjuangan Parada luntur.
Koran Pewarta Deli yang dipimpin Adinegoro pernah melontarkan kejengkelannya kepada Parada Harahap lewat Gandhu, pengasuh rubrik “Podjok”, pada edisi 5 September 1940. Seperti dikutip Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers, Nomor 37, 14 Sepember 1940, Gandhu menyebut praktik jurnalistik yang dilakukan Parada Harahap belakangan sebagai jurnalistik ketoprak atau ronggeng.
Gandhu menyebut Parada Harahap telah lama membuat wartawan di luar Jawa merasa bosan dengan tulisan-tulisannya:
Baru-baru ini dia menyatakan bahwa dia tidak tertarik pada jurnalistik yang tenang dan lebih menyukai jurnalistik "berdentoem-dentoem" (mengaum, atau: ribut?). Apa yang dimaksud dengan ini?
Lalu Gandhu mengatakan, Parada Harahap telah memberikan contoh buruk dalam kegiatan jurnalistiknya. Parada bangkit dari kebangkrutannya dengan menerbitkan Tjaja Timoer, koran minimalis.
1. Dia mengiklankan dirinya sendiri sebagai "Raja Pers Jawa";
2. Dia masuk penjara bukan karena pelanggaran pers, tapi karena masalah uang;
3. Kepada pembacanya dia mengaku "bisa berbahasa Belanda" dan dia juga bisa menyapa: "How do you do?";
4. Dia menghina jurnalis lain dan mengaku sendirian di atas;
5. Dia membuat banyak keributan, tetapi tidak mencari kebenaran, juga tidak mempertimbangkan bisnis.
Parada Harahap pernah dihukum 10 bulan penjara (potong masa tahanan 7,5 bulan), untuk kasus tuduhan penggelapan uang, setelah NV Bintang Hindia bangkrut pada Oktober 1934. Para pemilik saham Bintang Hindia, penerbit Bintang Timoer, menuntut Parada karena mereka tak pernah menerima pembagian keuntungan 250 gulden, seperti yang dijanjikan (De Koerier, 17 Agustus 1935).
Menjelek-jelekkan jurnalis lain sudah menjadi kebiasaan Parada. WR Supratman sering dijelek-jelekkan oleh Parada Harahap (PH), pemimpin redaksi Bintang Timoer. Sebagai balasannya, kata Kwee Kek Beng, “Tuan Supratman sering bongkar guci wasiatnya PH.” (Beng, Doea Poeloe Tahon Sebagi Wartawan, 1922-1947, 1948: 36).
Saat melaporkan Kongres Pemuda Indonesia Pertama, misalnya, Supratman membongkar salah satu “guci wasiat” Parada. Supratman menyinggung kemampuan Parada dalam berbahasa Belanda. Dalam persidangan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang semuanya menggunakan bahasa Belanda itu, di dalam sidang yang khusus membahas cara memajukan perempuan Indonesia, Parada tidak menggunakan bahasa Belanda. Begini kata Supratman dalam laporannya di Sin Po yang dimuat ulang oleh Darmo Kondo:
Toean Parada Harahap: Sebab tidak bisa bitjara Belanda, laloe bitjara Melajoe. Spr. senang perempoean Indonesia masoek sekolah, tetapi menjesal jang sekarang poenja diploma lantas soesah tjari pekerdjaan dan soesah mendapat laki. Sebab itoe spr. tidak setoedjoe jang perempoean dapat peladjaran terlaloe tinggi (Sin Po; Darmo Kondo, 12 Mei 1926).
Chronos, pengasuh rubrik “Isi Podjok” Darmo Kondo, juga pernah menyindir soal ketidakmampuan Parada berbahasa Belanda, mengulang sindiran dari Cloboth, pengasuh rubrik “Podjok” Soeara Oemoem/Tempo. Parada disebut Kakek Krukut, karena alamat korannya berada di Krukut. SIndiran itu dilakukan setelah Parada rajin menyerang RP Soeroso yang berpidato menggunakan bahasa Indonesia di sidang Volskraad Juli 1938.
Berhoeboeng dengan itoe Mas Cloboth dari Soeara Oemoem dan Tempo memperingatkann bahwa K.K. (Kakek Kroekoet) itoe memang “tjerdik” soal bahasa. K.K. pernah menjalin bahasa Belanda “op dat huis krait de roode haan” dalam bahasa Indonesia: “diatas roemah itoe berkokok ajam djantan jang merah”.
Arti peribahasa Belanda itoe sebenarnja: roemah itoe terbakar (Darmo Kondo, 16 Juli 1938).
Terkait dengan Kongres Pemuda Indonesia Kedua 1928, Parada Harahap juga dikritik Saeroen karena Bintang Timoer tidak mendukung perjuangan para pemuda. Menulis di Keng Po, Saeroen mengatakan, seliberal-liberalnya pers Indonesia, hendaknya mesti ingat bahwa ia ada di tanah jajahan. Bintang Timoer sebagai koran liberal tidak memuat laporan panjang mengenai pelaksanaan kongres itu. Alasannya, jika Bintang Timoer harus objektif dalam menjalankan jurnalistiknya sebagaimana keharusan surat kabar, dengan penyesalannya Bintang Timoer akan menyatakan bahwa kongres itu lebih rendah dari kongres-kongres lain pada tahun-tahun sebelumnya (Bintang Timoer, 29 Oktober 1928).
Maka, menanggapi kritik Saeroen itu, Bintang Timoer menurunkan tulisan dua kolom panjang merangkum kejadian selama dua hari Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada edisi 29 Oktober 1928 dilanjut satu kolom panjang pada tanggal 30 Oktober 1928. Di dalam tulisan itu, sekaligus diselipkan kalimat untuk menjawab kritik Saeroen:
...dan kita ingat akan djawaban kita, jang kita mengingat sebagai anak Indonesia, maka kita poenja liberaliteit... itoe berdasarkan nasionalisme poela, hingga kita tiada sampai hati memboeat pisau operatie jang tadjam kepada sekalian keadaan didalam Congres (Bintang Timoer, 29 Oktober 1928).
Pada tahun 1930-an, Parada juga pernah menyerang jurnalis Indonesia yang bekerja di koran-koran Cina-Melayu. Ia kemudian dilabrak oleh Zan Sanibar dan Djojopranoto yang tersinggung karena dianggap oleh Parada sebagai pengkhianat hanya karena bekerja di koran Cina-Melayu. M Tabrani, yang pada 1930-an sering berurusan dengan Parada karena urusan serang menyerang ini, pada 1929 menyebut Bintang Timoer sebagai racun perjuangan bangsa.
Pada 1929, Tabrani menerbitkan buku Ons Wapen sebagai tugas akhir kuliah jurnalistiknya di Eropa. Di buku itu, ia mengkritik koran Parada, Bintang Timoer, sebagai surat kabar yang menjadi racun bagi pergerakan kemerdekaan. Tak ada beban bagi Tabrani mengkritik Bintang Timoer, kendati selama di Belanda Tabrani juga mengantongi kartu pers Bintang Timoer dan mengirimkan tulisan dari Belanda ke Bintang Timoer. Pernyataan itu dibuat karena Bintang Timoer dia anggap sebagai koran yang netral, yang tidak gigih mendukung pergerakan kemerdekaan.
Pada mulanya, Tabrani memuji Bintang Timoer sebagai koran Indonesia yang terorganisasi dengan baik untuk ukuran saat itu. Parada Harahap yang mengendalikan Bintang Timoer disebut Tabrani sebagai sosok yang memiliki jiwa jurnalis sekaligus pengusaha, sehingga Bintang Timoer selalu menghasilkan keuntungan. Tapi, sikap politik Bintang Timoer di mata Tabrani menjadi sandungan bagi pergerakan kemerdekaan. Kata Tabrani:
Dan siapa pun yang mengikuti Bintang Timoer secara teratur dan menyeluruh tahu bahwa Tuan Parada Harahap memang tetap netral secara konsisten, juga terhadap pemerintahan asing yang ada. Sehingga tak lama kemudian datang sukses. Di negara seperti negara kita, yang diatur oleh otoritas asing, dalam jurnalistik seseorang bisa mendapatkan uang seperti air asalkan otoritas asing itu tetap sebagai teman. Tetapi apakah pers seperti itu bermanfaat bagi gerakan kemerdekaan kita? Tidak! Sebaliknya, untuk tujuan nasional kita secara umum, itu adalah racun, opium, justru karena netralitasnya (Tabrani, Ons Wapen, 1929: 19).
Bintang Timoer pada era 1920-an itu memang tidak sebebas koran-koran lain dalam mengkritik pemerintah. Menurut Tabrani (Ons Wapen, 1929: 57), perjuangan kebebasan pers Indonesia di Hindia Belanda berjalan sejajar dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keduanya harus dijalankan dengan kebijaksanaan, cinta, pengabdian, dan ketekunan. Gerakan kemerdekaan dan keberadaan pers adalah dua kekuatan yang benar-benar saling membutuhkan. Tak ada yang mendominasi satu atas lainnya.
Jika ada kerja sama yang erat antara kedua elemen ini, maka negara yang memilikinya tidak akan pernah bisa tetap didominasi oleh yang lain. Jika kekuatan dan sumber daya para pemimpin politik gagal melindungi negara dari segala bentuk dominasi, pers tahu bagaimana memperbaikinya. Berkat posisinya di masyarakat, dalam waktu yang cepat pers mampu menggalang rakyat melakukan mobilisasi nasional untuk membela segala sesuatu yang berharga dan suci baginya (Tabrani, Ons Wapen, 1929: 57).
Karena Parada bukan orang partai, dan korannya bukan organ partai, dilihat Tabrani menjadi berbeda posisinya dengan koran-koran pribumi. Koran-koran pribumi kebanyakan merupakan organ partai dan pengelolanya aktivis pergerakan nasional. Maka, Bintang Timoer lantas menjadi koran liberal/netral.
Dengan tegas, di Ons Wapen itu Tabrani menyatakan pers Indonesia tak boleh bersikap netral terhadap penguasa asing yang ada di Indonesia. Memang, pers Indonesia yang netral akan menguntungkan secara bisnis, tetapi tidak menguntungkan bagi pergerakan kemerdekaan.
Menanggapi tuduhan itu, Parada Harahap menampiknya. Menyebut Tabrani sebagai kolega muda, Parada menganggap Tabrani terlalu gegabah mengartikan netralnya Bintang Timoer terhadap kekuasaan asing di Indonesia sebagai tunduk pada kekuasaan asing di Indonesia.
Ini mesti kita bantah!
Kita boekan satoe anak Indonesier, kalau kita tidak memboeat Indonesische zaak “lebih atas” dari kekuasaan asing.
Kita boekan satoe anak laki-laki, kalau kita lebih tjinta pada asing dari pada bangsa sendiri (Harahap, Bintang Timoer, 16 Oktober 1929).
Parada menegaskan bahwa Bintang Timoer sebagai koran yang netral, yaitu tidak menjadi organ partai dan Parada sebagai pemimpin redaksinya juga bukan orang partai. Sebagai nasionalis Indonesia, Parada mengakui menjalankan jurnalistiknya secara liberal, tetapi “liberal-nationalistisch”.
Boekti2 poen sampai tjoekoep!
Perkara inl. Meerderheid, perkara Koesoemo Yoedo, perkara Boven Digoel, kita poenja soerat kabar ada djalan dimoeka, dan perkara studenten Indonesia di Nederland, itoe sampai tjoekoep menoendjoekkan bahwa kita tidak bisa menjimpang dari garis nasional!
Tetapi kita tidak pada satoe garisan jang teroendjoek pada tjabang-tjabang party.
Kita bisa patahkan perkataan t. Tabrani jang menjeboet onze nationale pers, dengan menanja, siapa jang dimaksoednja “onze” disini ?
Onzenja Ir. Soekarno dengan onzenja Hadji Salim, dengan onzenja Koesoemo Yoedo, ada berbeda , dan berbeda djoega dengan onzenja M. Tabrani! (Harahap, Bintang Timoer, 16 Oktober 1929).
Jika selama memimpin Bintang Timoer di era 1920-an, Parada tak pernah berurusan dengan delik pers, setelah mendapat kritik sebagai racun perjuangan, pada 1930-an, Parada sering kena delik pers. Tetapi bukan karena tulisannya yang mengkritik penguasa atau membongkar praktik busuk pengusaha dengan penguasa, melainkan karena kebiasaannya menyerang pribadi.
Pada Juli 1933, Parada diadili dengan tuduhan penghinaan terhadap Boerhanoedin Sabaroedin, ketua Asosiasi Produsen Rokok Kelobot, Kudus. Parada pertama kali bekerja di dunia jurnalistik diajak oleh ayah Boerhanoedin Sabaroedin di koran Benih Merdeka, Medan. Di kasus ini, oleh hakim Pengadilan Batavia Parada dihukum denda 50 gulden, atau kurungan 25 hari (De Indische Courant, 4 Juli 1933).
Sebelumnya, Pengadilan Banjarnegara menghukum Parada denda 25 gulden atau kurungan lima hari (Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 27 Desember 1932). Pada 1935, ia juga dihukum denda 40 gulden karena menghina seorang Cina terkemuka di Brebes (De Koerier, 22 Maret 1935).
Priyantono Oemar