Ahad 26 Feb 2023 20:55 WIB

Menyukai Idola Secara Fanatik, Ini Bahayanya Menurut Psikolog

Seseorang yang fanatik bahkan bisa mencelakai orang lain yang tidak sepaham.

Seseorang dikatakan mengidolakan artis secara wajar apabila masih bisa membedakan realitas dan sekadar kesenangan (Foto: ilustrasi menonton konser)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Seseorang dikatakan mengidolakan artis secara wajar apabila masih bisa membedakan realitas dan sekadar kesenangan (Foto: ilustrasi menonton konser)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mengidolakan sosok yang dikagumi terkadang membuat seseorang terlihat fanatik. Namun, apakah hal ini berbahaya?

Sejumlah pakar mempunyai pendapat berbeda mengenai fanatik, salah satunya J.P. Chaplin yang menyebut fanatik sebagai sikap yang penuh dengan semangat yang berlebihan terhadap satu segi pandangan atau satu sebab. Ini artinya, fanatik merujuk pada personal atau seseorang yang memiliki pemahaman, kegemaran atau kesukaan berlebihan terhadap sesuatu.

Baca Juga

Menurut psikolog klinis dewasa yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis wilayah Banten Mega Tala Harimukthi, SPsi, MPsi, Psikolog, bahwa merujuk pada teori terdahulu, seseorang yang fanatik bahkan bisa mencelakai orang lain yang tidak sepaham dengan dia. 

Fanatik berbeda dengan fanatisme. Fanatik merupakan sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme. Sementara fanatisme adalah sebuah paham di mana seseorang biasanya memiliki ketertarikan yang secara berlebihan terhadap sesuatu.

"Jadi kalau fanatisme itu pahamnya. Maka ketika sekelompok orang menyukai sesuatu secara berlebihan, katakanlah dia suka K-pop, bahkan klub sepakbola misalnya, secara berlebihan, maka mereka disebut orang dengan paham fanatisme berlebihan," kata Mega yang berpraktik di RSIA Bina Medika Bintaro itu, Ahad (26/2/2023).

Fanatik jelas berbahaya. Dalam konteks mengidolakan artis, menurut Mega, ketika seseorang menyukai satu atau lebih idola tertentu, kemudian sangat terinternalisasi ke dalam dirinya, maka secara sadar maupun tidak sadar menyebabkan dia meniru semua tentang idolanya.

Aktivitas pun jadi terganggu karena terlalu fokus mengikuti kegiatan idolanya mulai dari apa yang dikerjakan hingga dimakan. Ini tak hanya dilakukan kalangan remaja, tetapi juga orang dewasa.

Inilah yang mungkin memunculkan pendapat bahwa mengidolakan artis tertentu khususnya dari luar negeri sama berbahayanya dengan narkoba yang menimbulkan candu. Mega mengingatkan, hal ini bisa merugikan karena waktu yang bisa seseorang gunakan untuk hal-hal yang produktif terbuang begitu saja.

Tak cukup dengan meniru, ada juga penggemar yang bahkan terus menerus mengikuti idolanya. Di Korea Selatan, penggemar semacam ini disebut sebagai sasaeng atau penggemar obsesif. Sebagian sasaeng mengejar idolanya seharian termasuk menunggu di depan rumahnya.

Para penggemar ini telah membuat para bintang terusik sejak 1990-an, ketika grup idola seperti H.O.T. mulai tenar di Korea, menurut professor psikologi di Seoul National University, Kwam Keum-joo seperti pernah dipublikasikan The Korea Times. 

Fenomena ini terus terjadi dan membuat agensi hiburan tempat bernaung idola bertindak. Agensi hiburan Korea Selatan JYP Entertainment misalnya, pernah menyatakan untuk mengambil tindakan hukum pada sasaeng yang terus melanggar privasi grup idola K-pop Stray Kids.

Menurut agensi, sasaeng menunggu artis di luar asrama, perusahaan, salon, mengikuti saat idola bepergian untuk aktivitas terjadwal, mencoba kontak fisik dan masuk ke dalam pintu masuk gedung asrama.

 

Punya batasan

Menurut Mega, seseorang dikatakan mengidolakan artis secara wajar apabila masih bisa membedakan realitas dan sekadar kesenangan. Dia menekankan pentingnya seseorang memiliki batasan dalam mengidolakan artis, misalnya sekadar menyukai lagu-lagu karyanya, film, tanpa harus mengikuti semua yang dia lakukan.

Dia mengatakan, adanya batasan penting untuk membuat seseorang tetap on track atau berada pada jalurnya yakni individu dengan aktivitasnya, apakah dia remaja yang masih punya kewajiban bersekolah, pegawai kantoran atau ibu rumah tangga dengan tanggung jawab mengasuh anak.

Dia kemudian menyarankan seseorang sebaiknya memiliki kegiatan yang produktif agar tidak terus menerus kepo dengan idola tanpa mengenal waktu. Berolahraga juga bisa menjadi pilihan karena membantu mengeluarkan hormon bahagia dan pikiran menjadi lebih positif.

"Jadi, kita enggak melulu memikirkan idola kita. Kita jadi lebih tahu batasan realita, kapan sih waktunya kita menunjukkan ini batasan saya, bukan kehidupan dia," kata dia.

Jadi, menyukai grup idola atau artis tertentu sebaiknya tidak terinternalisasi ke dalam diri sehingga aktivitas sehari-hari tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan itu sangat lah wajar. Ini sekaligus sebagai sikap untuk tidak dilabelisebagai fanatik.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement