REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Menjelang pesta rakyat pemilihan caleg dan presiden 2024, muncul kekhawatiran penggunaan Masjid yang kerap dijadikan sebagai tempat politik praktis bagi para caleg maupun capres. Ketua PW DMI Sumatera Barat, Duski Samad berkomitmen untuk mempertahankan independensi Masjid sebagai tempat ibadah.
"Masjid tidak anti politik, tetapi Masjid bukan tempat melakukan kegiatan politik praktis," ucap Duski dalam kegiatan Muzakarah di Truntum Padang Hotel, Sabtu (25/2/2023).
Menurut dia, Masjid harus kembali kepada marwahnya, yakni sebagai tempat edukasi umat islam dan terbuka untuk melakukan berbagai kajian akademik keagamaan bagi umat termasuk kajian bidang politik.
Berbagai kegiatan di masjid dilakukan untuk kepentingan dan kemaslahatan ummat, baik urusan dunia maupun akhirat.
"Selain tempat ibadah, fungsi Masjid juga sebagai sarana pembelajaran ilmu pengetahuan, media pembentukan karakter umat, termasuk dalam hal menyampaikan politik islam," ujarnya.
Untuk mengantisipasi politik praktis terjadi di ruang mimbar, Duski beserta anggota DMI lainnya tengah mempersiapkan panduan terkait antisipasi politik praktis tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan khittahnya sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT.
"Kita rumuskan satu bentuk pemikiran tentang bagaimana etika di Masjid yang di dalamnya mengatur regulasi dan menyampaikan pernyataan yang melarang tindakan politik praktis dalam berdakwah," ujarnya.
Wakil Sekretaris PW Aceh, Tengku Irhamullah berpendapat bahwa Masjid tidak seharusnya dijadikan sebagai alat politik praktis. Menurutnya hal tersebut hanya akan berakibat untuk memecah suatu golongan.
"Dari awal memang kita sepakat bahwa masjid itu menjadi satu sarana dalam mempersatukan ummat. Oleh karena itu, kita mengharapkan untuk tidak membicarakan hal-hal yang bersifat politik praktis, dengan sengaja mengkampanyekan nama calon di dalam dakwahnya," kata dia.
Sebelumnya, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) juga telah menegaskan sikap menolak penggunaan masjid sebagai tempat kegiatan politisasi atau kampanye politik praktis.
"Masjid itu dimaknai sebagai jami, artinya tempat yang menyatukan, paling inklusif. Jadi, embel-embel primodialisme, perbedaan, semua tidak ada," ujar Sekjen PP DMI Imam Addaruqutni dilansir dari Antara.
Pernyataan tersebut disampaikan Imam menghadiri seminar nasional yang diselenggarakan oleh Penggerak Pemakmuran Masjid Indonesia (P2MI) bertajuk Etika Politik dan Dakwah Islam di Jakarta.