REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Wilayah (PW) Dewan Masjid Indonesia (DMI) se-Sumatra berkomitmen untuk mencegah masjid dijadikan sebagai sarana politik praktis.
"Masjid tidak anti politik, tetapi masjid bukan tempat melakukan kegiatan politik praktis," kata Ketua PW DMI Sumatra Barat Duski Samad dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Ahad (27/2/2023).
Dia menyampaikannya karena muncul kekhawatiran penggunaan masjid, yang kerap dijadikan sebagai tempat politik praktis bagi para calon legislatif maupun calon presiden.
Menurut dia, masjid harus kembali kepada marwahnya, yakni sebagai tempat edukasi umat islam dan terbuka untuk melakukan berbagai kajian akademik keagamaan bagi umat termasuk kajian bidang politik.
Samad mengatakan, berbagai kegiatan di masjid dilakukan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat, baik urusan dunia maupun akhirat.
"Selain tempat ibadah, fungsi masjid juga sebagai sarana pembelajaran ilmu pengetahuan, media pembentukan karakter umat, termasuk dalam hal menyampaikan politik islam," katanya lagi.
Untuk mengantisipasi politik praktis terjadi di ruang mimbar, Duski beserta anggota DMI lainnya tengah mempersiapkan panduan terkait antisipasi politik praktis tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan khittahnya sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT.
"Kita rumuskan satu bentuk pemikiran tentang bagaimana etika di masjid, yang di dalamnya mengatur regulasi dan menyampaikan pernyataan yang melarang tindakan politik praktis dalam berdakwah," katanya menegaskan.
Wakil Sekretaris PW Aceh Tengku Irhamullah berpendapat bahwa Masjid tidak seharusnya dijadikan sebagai alat politik praktis. Menurutnya hal tersebut hanya akan berakibat untuk memecah suatu golongan.
"Dari awal memang kami sepakat bahwa masjid itu menjadi satu sarana dalam mempersatukan umat. Oleh karena itu, kami mengharapkan untuk tidak membicarakan hal-hal yang bersifat politik praktis, dengan sengaja mengampanyekan nama calon di dalam dakwahnya," katanya menegaskan.