REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Koalisi Masyarakat Sipil menemukan sejumlah kejanggalan selama proses sidang kasus tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya. Temuan kejanggalan ditemukan dalam proses pemantauan sejak 20 Januari hingga 23 Februari 2023.
Perwakilan LBH Malang, Daniel Siagian menjelaskan, tim menemukan beberapa fakta kejanggalan secara umum seperti dibatasinya media massa dalam melakukan siaran langsung selama proses persidangan berjalan. Timnya menilai hal tersebut termasuk tindak pembatasan atas kebebasan pers dan hak publik dalam melakukan pemantauan persidangan proses kanjuruhan.
"Padahal ketentuan acara pidana menegaskan bahwa persidangan terbuka untuk umum," kata Daniel kepada wartawan di Kota Malang, Senin (27/2/2023).
Kejanggalan kedua, yaitu dialihkannya proses peradilan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Hal ini seharusnya tidak terjadi mengingat locus wilayah hukum peristiwa berada di Kabupaten Malang.
Berikutnya, yakni diiterimanya perwira aktif anggota kepolisian (Bidkum Polda Jawa Timur) sebagai penasihat hukum tiga terdakwa kepolisian. Menurut dia, keterlibatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (Conflict of Interest). Kemudian juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan bertetangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Polri.
Daniel juga menemukan kejanggalan ketika puluhan saksi-saksi yang dihadirkan JPU dan penasihat hukum terdakwa banyak berasal dari institusi kepolisian. Tidak hanya dari jajaran Polres Kabupaten Malang tetapi juga hingga Polda Jawa Timur.
Selain itu, pihaknya juga menilai sangat minimnya keterlibatan keluarga korban, korban dan saksi mata sebagai saksi dalam persidangan. Dari puluhan saksi yang diperiksa, hanya satu keluarga korban (inisial DA) yang dihadirkan dalam persidangan.
Kejanggalan selanjutnya, yaitu sikap/perilaku hakim yang cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi dalam pembuktian. Padahal berdasarkan ketentuan Acara Pidana dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan hakim harus menguji. Bahkan, harus menggali kebenaran materiil dalam perkara yang menyebabkan meninggalnya 135 nyawa dan ratusan korban lainnya luka-luka.
Di samping itu, tim juga menemukan kejanggalan saat perilaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang cenderung pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dalam pemeriksaan saksi di persidangan. Contohnya, saat saksi yang berasal dari keluarga korban (DA), JPU hanya menanyakan hasil otopsi kedua anak (NDR dan NR) keluarga korban. JPU tidak berusaha menggali penyebab (kausalitas) dari kematian korban.
Kejanggalan lainnya, yakni tindakan JPU yang tidak mendalami untuk menanyakan dan menggali secara detail mengenai kausalitas matinya salah satu keluarga korban (DA). Ditambah lagi, pemeriksaan tersebut berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
"Dan pertanyaan JPU hanya mengkonfirmasi soal hasil otopsi salah satu korban," ucapnya.
Selain kejanggalan secara umum, tim pemantau dari Koalisi Masyarakat Sipil juga menemukan kejanggalan lain di masing-masing keterangan para saksi dan terdakwa. Ditambah lagi, mereka juga mengkritisi tuntutan penjara tiga tahun yang diterima tiga terdakwa yang berasal dari unsur kepolisian.
Tindakan ini jelas menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran HAM tidak serius diadili bahkan mengarah pada bentuk impunitas. Atas berbagai fakta/kejanggalan sidang kanjuruhan dan pembacaan tuntutan JPU terhadap terdakwa kanjuruhan, maka Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan sejumlah sikap. Pertama, koalisi mendesak Majelis Hakim untuk menjatuhkan vonis seberat-beratnya dan seadil-adilnya.
"Ini demi diwujudkannya keadilan bagi keluarga korban," ungkapnya.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan untuk bersikap pro-aktif memeriksa dugaan pelanggaran kode etik terhadap perilaku hakim dan jaksa dalam proses persidangan tragedi Kanjuruhan. Lalu mendesak Komnas HAM untuk lebih pro-aktif untuk mendalami keterlibatan pelaku level atas dalam pertanggungjawaban komando pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Kanjuruhan.
Di samping itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Polri agar tidak berhenti melakukan pengusutan. Kemudian didorong agar lebih serius menyidik anggota mereka yang terlibat secara langsung dalam tragedi tersebut. Hal ini penting mengingat peristiwa tersebut menyebabkan ratusan orang meninggal dan luka berat.
Proses persidangan kasus tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya telah menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Hal ini tidak terkecuali dari keluarga korban peristiwa tersebut.
Tim Pemantau LBH Malang, Ahmad Khoirul mengungkapkan, terdapat beberapa keluarga korban yang sangat berharap bahwa tragedi tersebut dapat memberikan pelajaran yang berharga. "Terutama kepada institusi pengadilan Indonesia, institusi penegakan hukum di Indonesia," jelas Khoirul saat ditemui wartawan di Kota Malang, Senin.
Tidak hanya itu, keluarga korban juga sempat membandingkan dengan tragedi pembunuhan Brigadir J. Persidangan kasus ini dapat diakses oleh publik melalui siaran langsung.
Keluarga korban menilai tindakan demikian sangat berbeda ketika persidangan tragedi Kanjuruhan dijalankan di Surabaya. Padahal jumlah korban di peristiwa ini sangat berbeda jauh, yakni 135 orang meninggal dunia. "Jadi mengapa tidak dapat disiarkan atau diakses terbuka oleh publik terutama keluarga korban," ucapnya.
Kritikan juga ditunjukkan mengenai lokasi persidangan yang dipindahkan ke Surabaya. Hal ini jelas menimbulkan kontra bagi keluarga mengingat tragedi Kanjuruhan terjadi di Malang. Apalagi keluarga korban menjadi tidak mengetahui jalannya persidangan dengan baik.