REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setelah Nabi Muhammad wafat pada abad ketujuh masehi, adab makan berubah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menyebut hal tersebut sebagai bid’ah alias hal baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup. Apa saja adab tersebut? Apakah adab tersebut dilarang? Yuk simak ulasannya.
Mengenai adab yang berubah. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan beberapa adab yang berubah. Pertama berkaitan dengan penyajian makanan yang semula disajikan di piring kemudian diletakkan di atas lantai. Kebiasaan ini berubah menjadi diletakkan di atas meja.
Kedua adalah penggunaan bahan kimia untuk melembutkan dan mengawetkan makanan.
Ketiga membersihkan tangan dengan sabun atau deterjen pencemar lingkungan
Keempat, mengonsumsi makanan hingga kenyang.
Al-Ghazali menjelaskan sejumlah hal terkait dengan adab tersebut. Bahwa adab tersebut memang bid’ah, alias hal baru. Namun bukan berarti semua bid’ah itu terlarang (laisa kullu maa abda’ manhiyyan). Yang dilarang itu adalah hal baru yang bertentangan dengan sunah Nabi Muhammad.
Sang imam menjelaskan bahwa keempat hal tersebut bisa jadi memenuhi nafsu (tahyij syahawat) dan menjadi penyakit buat badan.
Dalam Ihya juga dijelaskan, makanan yang dikonsumsi harus halal. Makanan yang halal mengandung banyak berkah. Maksudnya adalah manfaat lahir dan batin. Selain menjadi gizi, makanan tersebut juga akan menghadirkan ketenangan batin, menguatkan motivasi beribadah, memperbanyak berbuat baik, dan menjauhi larangan Allah.
Mengkonsumsi makanan haram dilarang, karena dosa dan maksiat. Sebab hal tersebut akan menguatkan syahwat dan menjauhkan diri dari Allah.
Makanan haram itu ada dua hal. Pertama yang memang dari awal sudah diharamkan, seperti daging babi, khamar, dan lainnya.
Kedua adalah yang diharamkan karena diperoleh dengan cara tidak benar. Misalkan hasil curian atau hasil menzalimi orang lain. Meskipun hakikatnya makanan itu halal, tapi karena diperoleh dengan cara tidak baik, maka dia akan mengakibatkan ketidakbaikan untuk tubuh.