REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan pengetatan kebijakan moneter global terus berlanjut karena melambatnya laju penurunan inflasi.
Hal tersebut, kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers bulanan di Jakarta, Senin (27/2/2023), menjadi salah satu dinamika perekonomian global yang perlu dicermati karena dapat memberikan dampak terhadap ekonomi nasional.
"Selain itu harga komoditas yang terus turun perlu dicermati," kata Mahendra dalam konferensi pers secara daring mengenai hasil rapat dewan komisioner OJK.
Meski demikian, hingga Februari 2023, Mahendra menyebut stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang terus bertumbuh dari pelaku industri. Hal tersebut telah menyumbang terhadap kinerja perekonomian nasional di tengah masih tingginya ketidakpastian global.
OJK juga menilai kinerja perekonomian global secara umum di atas ekspetasi, khususnya di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Lebih khusus lagi untuk pasar tenaga kerja yang menunjukkan persisten kuat dan indikator sektor rill lainnya bergerak positif.
Selain itu, kata dia, pembukaan kembali ekonomi China setelah kebijakan nol Covid-19 memberikan optimisme bahwa resesi ekonomi global dapat dihindari.
Indikator perekonomian domestik juga tetap solid. Mahendra menyebut berbagai indikator terjaganya ekonomi domestik seperti berlanjutnya surplus neraca perdagangan, indeks pembelian barang manufaktur (PMI) yang berada pada zona ekspansif.
"Optimisme konsumsi masyarakat juga terkonfirmasi dari kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks Penjualan Riil," kata Mahendra.
Menurut data Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2023 sebesar 123,0, atau lebih tinggi dibandingkan dengan 119,9 pada Desember 2022. Sedangkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) Januari 2023 sebesar 213,2, atau tumbuh 1,7 persen secara tahunan (year on year).