REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna mengatakan, dehumanisasi pembangunan bisa menyebabkan anak berperilaku agresif dan anarkis. Hal ini yang dinilai Hempri juga menjadi salah satu penyebab kejahatan jalanan, atau yang dikenal masyarakat dengan istilah klitih di DIY.
"Banyak hal juga yang menyebabkan bagaimana klitih itu banyak bermunculan. Kalau dari sisi makro, jangan-jangan ini karena dehumanisasi pembangunan," kata Hempri dalam Podcast Interaksi yang digelar Republika di Kantor Perwakilan Republika Jateng-DIY, Kota Yogyakarta, Senin (27/2).
Ia menyebut bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah masih lebih banyak berorientasi kepada ekonomi, dan masih kurang bahkan melupakan orientasi sosial. Padahal, katanya, orientasi sosial ini harus menjadi perhatian dalam konteks pembangunan.
Padahal, kurangnya orientasi sosial dalam konteks pembangunan dapat menjadikan maraknya persoalan sosial di tengah masyarakat. Termasuk kejahatan jalanan yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) di DIY, yang bahkan pelaku maupun korbannya banyak yang di bawah umur.
"Ini harus diperhatikan, jangan-jangan karena lemahnya program-program pemerintah dalam pengembangan karakter, pengembangan watak sosial masyarakat, sehingga kemudian muncul berbagai persoalan-persoalan sosial, salah satunya klitih," ujar Hempri.
Menurutnya, kegiatan pengembangan karakter anak khususnya remaja harus dilakukan guna mengantisipasi adanya perilaku anarkis dan agresif. Hal lainnya yang bisa dilakukan, kata Hempri, yakni dengan mengembangkan ruang-ruang kreativitas atau ruang budaya untuk mengeksplorasi bakat anak dan membuatnya tidak menghabiskan waktu lebih banyak untuk hal yang tidak bermanfaat.
"Kegiatan pengembangan karakter anak-anak muda, pengembangan ruang-ruang kreatifitas anak muda, atau mungkin pengembangan lebih canggih lagi seperti kampung ramah anak itu terbengkalai. Ini justru jangan-jangan menjadikan bentuk perilaku-perilaku tersebut," jelasnya.
Dihadirkannya ruang-ruang untuk pengembangan anak tersebut dinilainya masih terbatas di DIY. Hempri menuturkan, ruang kreativitas maupun ruang budaya itu dapat menjembatani anak dan memfasilitasi anak dalam menemukan jati diri dan mengembangkan dirinya sendiri, sehingga tidak terjerumus dalam kejahatan jalanan maupun klitih.
"Selama ini saya lihat sudah ada kegiatan-kegiatan kewirausahaan, kegiatan kepemimpinan, tapi apakah ruang-ruang kreatifitas anak-anak muda itu sudah cukup di wilayah DIY? Apakah di tiap desa, atau minimal di kecamatan sudah ada ruang-ruang kreativitas anak-anak muda yang bisa berkumpul, berdiskusi, dan mereka bisa melakukan aktivitas-aktivitas kreatif dari diskusi itu? (ruang-ruang) Ini menurut saya perlu dimunculkan," kata Hempri.