REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama RSUP Persahabatan, Prof Dr dr Agus Dwi Susanto SpP(K) mengatakan pihaknya siap melaksanakan transplantasi paru untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebelumnya, sudah ada 14 resipien yang masuk dalam daftar tunggu, namun tiga di antaranya telah meninggal dunia dalam masa penantian.
"Umumnya, mereka (respien) berasal dari kalangan tidak mampu," kata Prof Agus dalam webinar "Transplantasi Paru" yang diselenggarakan oleh RSUP Persahabatan, disimak di Jakarta, Senin (27/2/2023).
Sejauh ini, RSUP Persahabatan masih menunggu ketersediaan donor hingga izin keluarga. Menurut Prof Agus, donornya sudah bersedia dan kelak ketika pendonor meninggal maka organnya bisa diambil mulai dari jantung, paru, hingga ginjalnya.
"Saat ini, kami ada satu donor yang memang tersedia yang bisa digunakan secara bersama-sama untuk transplantasi organ lain di berbagai rumah sakit," ungkapnya.
Prof Agus menjelaskan tiap rumah sakit yang menyelenggarakan transplantasi organ sudah berkolaborasi untuk mengantisipasi ketersediaan donor. Pihaknya juga telah mendapatkan rekomendasi dari Komite Transplantasi Nasional (KTN) sebagai persyaratan utama pengurusan izin.
"Tentunya, program transplantasi ini akan menjadi sumbangsih RSUP Persahabatan sebagai Pusat Respirasi Nasional dalam menyukseskan transformasi kesehatan Kemenkes RI demi resiliensi layanan kesehatan di Indonesia," kata Prof Agus.
Di dunia, transplantasi paru pertama kali dilakukan pada 1963. Ketika itu, pasiennya hanya bertahan hidup selama 18 hari.
Seiring perkembangan teknologi kedokteran, banyak negara sudah berhasil melakukan transplantasi paru. Selain di negara-negara Eropa dan Amerika, Asia juga tak ketinggalan dengan Malaysia, Taiwan, Vietnam, dan Jepang yang berpengalaman menyelenggarakannya.
"Transplantasi paru merupakan transplantasi organ yang paling sulit dengan risiko komplikasi paling tinggi dan survival paling rendah dibandingkan organ lain," ujar prof Agus.
Menurut Prof Agus, transplantasi paru akan menjadi sebuah sejarah baru di Indonesia apabila bisa dilakukan, terlebih jika program ini berkelanjutan. Ia mencontohkan Singapura hanya melakukan transplantasi dua kali dalam satu tahun. Kemungkinan itu karena sumber resipien maupun donornya juga tidak begitu banyak.
"Kita punya potensi untuk itu," ucap Prof Agus.