REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemilik Twitter Elon Musk menangguhkan akun beberapa jurnalis pada 15 Desember 2022. Penangguhan itu diklaim karena mengklaim para jurnalis telah melanggar peraturan baru perusahaan tentang pengungkapan lokasi orang.
Penangguhan itu dikutuk oleh surat kabar dan organisasi media lainnya. Bahkan Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mempertanyakannya. Langkah itu dinilai menjadi preseden yang berbahaya. Sehari kemudian, Musk mencabut penangguhan setelah menjalankan jajak pendapat dengan responden menentang hasil pilihannya.
Tapi tidak ada kemarahan global seperti itu dua pekan sebelumnya. Saat itu terjadi penangguhan akun Said Arikat, jurnalis veteran Palestina yang berbasis di Washington, DC, pada 3 Desember.
Arikat adalah kepala biro Washington untuk al-Quds yang berbasis di Yerusalem, salah satu surat kabar harian Palestina yang paling banyak dibaca. Media ini menyalurkan informasi dari Departemen Luar Negeri dengan pertanyaannya yang berapi-api tentang Palestina dan wilayah Arab.
"Saya yakin begitu. Saya tidak bisa memikirkan alasan lain," ujar Arikat saat ditanya tentang penangguhannya dari Twitter terkait dengan sikap blak-blakan tentang Palestina.
"Saya diretas sebelum penangguhan, tapi itu saja," kata jurnalis ini menambahkan bahwa Twitter telah mengutip itu sebagai alasan menangguhkan akunnya.
Nasib itu pun dialami advokat dan pengacara hak asasi manusia Palestina yang terkenal, Noura Erakat. Akun Erakat ditangguhkan pada 8 Januari, beberapa hari setelah Arikat mendapatkan panggungnya.
Lingkaran aktivis Palestina, dengan Erakat adalah tokoh terkemuka, mendukung perjuangannya dan kemarahan yang diakibatkannya membuat akunnya dipulihkan keesokan harinya. Erekat juga mendapat notifikasi dari Twitter bahwa akunnya di-suspend karena diretas.
Baik Erakat dan Aikat mengirim pesan ke Twitter untuk menanyakan tentang keputusan untuk menangguhkan akun mereka tetapi tidak mendapat balasan. Setelah hampir sebulan, akun Arikat diaktifkan kembali pada 29 Desember, tetapi Arikat tidak pernah mendapat tanggapan dari Twitter tentang alasan penangguhannya, selain dari pemberitahuan awal. Sebelum ditangguhkan, akun Aikat telah diverifikasi dan memiliki ribuan pengikut.
"Setelah empat minggu ditangguhkan di Twitter, untuk alasan yang masih belum saya ketahui, akun saya dipulihkan sore ini," kata Arikat saat itu.
Setelah penangguhan akun, Facebook menghapus surat kabar Arikat al-Quds, yang memiliki lebih dari sembilan juta pengikut, dari platform tersebut. "#Mendesak | #Facebook menutup halaman surat kabar al-Quds tanpa penjelasan apa pun selain atas permintaan Israel untuk menutup halaman media #Palestina terbesar, yang memiliki sekitar 10 juta pengikut dan menyajikan berita yang merusak citra Israel di dunia; telah ada kecaman #Arab dan #Palestina atas hal ini," ujar keterangan media itu di Twitter.
Akun itu dipulihkan dua hari kemudian. Namun, pendukung kebebasan berbicara digital telah merinci banyak contoh raksasa media sosial seperti Facebook atau Twitter telah membatasi atau memblokir halaman milik jurnalis, aktivis Palestina, dan lainnya.
"Baru-baru ini kami menyaksikan beberapa kasus di mana akademisi dan jurnalis Palestina disensor di Twitter karena berbagai alasan,” kata Mona Shtaya merupakan manajer advokasi dan komunikasi di 7amleh, Pusat Kemajuan Media Sosial Arab, sebuah organisasi hak digital Palestina.
Alasan yang ditawarkan oleh platform tersebut adalah melanggar standar komunitas, dan beberapa akun dikatakan telah ditangguhkan karena kesalahan atau sebagai akibat dari gangguan teknis. Namun, menurut Shtaya, alasan yang tidak terucapkan termasuk meningkatnya ujaran kebencian dan hasutan terhadap orang Arab, termasuk Palestina.
"Apa pun alasan di balik penyensoran ini, hasilnya tetap sama, memberlakukan penyensoran yang lebih tinggi atas kebebasan dan hak digital, terutama pada orang-orang yang tertindas," kata Shataya kepada Aljazirah.
Pada tahun 2021, platform media sosial meningkatkan sensor konten Palestina. 7amleh mendokumentasikan lebih dari 1.000 pelanggaran di berbagai platform, dengan Facebook dan Instagram di atas daftar platform yang paling banyak melanggar.
Pada September 2022, sebuah laporan terpisah yang dibuat oleh sebuah perusahaan konsultan independen yang ditugaskan oleh Meta mengakui adanya bias dalam praktik moderasi platform tersebut. Konsekuensi dari kondisi ini sangat tidak proporsional terhadap hak digital warga Palestina dan penutur bahasa Arab. Laporan tersebut menemukan bahwa praktik Meta tersebut melanggar hak warga Palestina atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, partisipasi politik, dan non-diskriminasi.