Rabu 01 Mar 2023 09:07 WIB

Vonis Haryadi Suyuti Lebih Tinggi dari Tuntutan, JPU: Tidak Masalah

Soal vonis Haryadi Suyuti lebih tinggi dari tuntutan, JPU KPK tidak mempermasalahkan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa eks Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. Soal vonis Haryadi Suyuti lebih tinggi dari tuntutan, JPU KPK tidak mempermasalahkan.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Terdakwa eks Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. Soal vonis Haryadi Suyuti lebih tinggi dari tuntutan, JPU KPK tidak mempermasalahkan.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Putusan majelis hakim atas vonis mantan Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti (HS) lebih tinggi dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta memutuskan vonis tujuh tahun, yang mana lebih tinggi dari tuntutan JPU yakni 6,5 tahun.

"Tentunya itu merupakan kewenangan majelis hakim, menurut kami pasnya ya enam tahun enam bulan. Tapi ketika majelis hakim memiliki pendapat yang lain yang berbeda, kalau bahasa kami ultra petita, lebih dari yang kami tuntut, ya tentunya juga tidak menjadi masalah," kata JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ferdinan Adi Nugroho usai sidang dengan agenda putusan majelis hakim terhadap kasus suap HS di PN Yogyakarta, Selasa (28/2).

Baca Juga

Pihaknya belum memutuskan terkait upaya hukum yang akan dilakukan kedepannya terkait perkara suap yang melibatkan Haryadi. Meski begitu, pihaknya mengapresiasi putusan hakim terhadap Haryadi.

"Apakah kami melakukan upaya hukum atau tidak? Kami masih pikir-pikir dan kami berkoordinasi dengan pimpinan terlebih dulu. Yang pasti, yang kami apresiasi adalah dakwaan kami terbukti," ujar Ferdinan.

Selain itu, kata Ferdinan, pertimbangan-pertimbangan majelis hakim sebagian besar mengakomodir pertimbangan dalam tuntutan yang disampaikan JPU. Pertimbangan hakim yang berbeda, lanjutnya, hanya terkait putusan hakim lebih besar dari tuntutan yang disampaikan JPU.

"Yang berbeda hanya terkait masalah pidana badannya tambahan enam bulan dari 6,5 tahun, terus kemudian ada pemberian Rp 20 juta yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim," tambahnya.

"Yang pasti kami apresiasi majelis hakim, tuntutan kami terbukti, kemudian pidana badan malah ultra petita, melebihi ekspektasi kami," lanjut Ferdinan.

Lebih lanjut, Ferdinan menuturkan bahwa putusan hakim belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Hal ini dikarenakan dari kedua pihak yang berperkara belum memutuskan untuk menerima putusan tersebut.

"Kan belum inkracht juga putusan ini, apakah nanti yang bersangkutan (Haryadi) terima atau tidak, ataukah kemudian pimpinan menginstruksikan kepada kami untuk menerima atau tidak, kami belum tahu, yang pasti kami pikir-pikir," jelasnya.

Seperti diketahui, vonis hukuman tujuh tahun penjara yang dijatuhkan kepada HS terkait kasus suap IMB Royal Kedhaton dan Hotel Iki Wae/Aston Malioboro. Awalnya, HS terkena OTT oleh KPK atas suap IMB Royal Kedhaton pada Juni 2022 lalu.

Namun, selama proses penyelidikan dan persidangan berlangsung, ditemukan bahwa HS juga terlibat dalam kasus suap IMB Hotel Iki Wae/Aston Malioboro.

Dalam putusannya, majelis hakim menyebut bahwa Haryadi terbukti secara sah dan meyakinkan telah menerima sejumlah uang dan barang dalam penerbitan dua IMB tersebut dalam kurun 2019 hingga 2022.

"Menjatuhkan pidana terhadap Haryadi Suyuti dengan pidana penjara selama tujuh tahun," kata Ketua Majelis Hakim M. Djauhar Setyadi saat membacakan putusan di PN Yogyakarta, Selasa (28/2).

Atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Haryadi, ia juga divonis membayar denda sebesar Rp 300 juta. "Denda sebesar Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan," ujarnya.

Selain itu, Haryadi juga turut dijatuhi pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 165 juta. "Dalam hal terdakwa tak memiliki harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka akan dipidana penjara selama dua tahun," jelas Djauhar.

Tidak hanya itu, hakim juga mencabut hak dipilihnya HS dalam pemilihan jabatan publik selama enam tahun, terhitung saat terdakwa selesai menjalani pidana pokok.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement