REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sejumlah faktor risiko yang dapat membuat anak mengalami gangguan pendengaran. Bayi lahir dengan berat badan rendah hingga penggunaan obat-obatan saat hamil termasuk di antaranya.
"Kita bisa lihat juga apakah anaknya langsung nangis atau tidak (ketika lahir), atau ada riwayat berat badan rendah karena prematuritasnya. Itu juga menjadi faktor yang harus kita pastikan," kata dokter spesialis telinga hidung tenggorokan (THT_ dari RS Cipto Mangunkusumo - Kencana, Tri Juda Airlangga Hardjoprawito, di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Bila anak memiliki faktor risiko tersebut, menurut Juda, mereka perlu menjalani deteksi dini pendengaran. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan sebelum usia enam bulan karena pada usia di atas usia enam bulan umumnya anak sudah bisa berkomunikasi dan sudah memiliki bahasa sendiri.
Juda kemudian menjelaskan "rumus 136" terkait dengan pemeriksaan telinga dan pendengaran anak. Rumus 136 ini merujuk pada usia anak yaitu satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan.
Pada usia di bawah satu bulan, anak sebaiknya menjalani pemeriksaan fungsi rumah siput atau koklea. Namun, andaikan ada faktor risiko, periksakan lagi pada usia tiga bulan.
"Kemudian sebelum usia enam bulan, sebelum mereka aktif berkomunikasi kita lakukan pemeriksaan juga," kata Juda.
Selain itu, Juda mengatakan bahwa deteksi gangguan pendengaran pada anak sebaiknya menggunakan alat khusus. Sebab, gangguan pendengaran pada anak akan sulit terdeteksi bila tanpa pemeriksaan khusus.