REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITA -- Militer Myanmar terus mengamankan pasokan bahan bakar jet tempur yang melibatkan perusahaan dari Asia dan Eropa. Laporan terbaru Amnesty International, Global Witness dan kelompok advokasi Burma Campaign UK, pada Rabu (1/3/2023) mengatakan, mereka telah mengidentifikasi lebih banyak perusahaan yang terlibat dalam transaksi bahan bakar penerbangan.
Laporan ini menindaklanjuti penyelidikan rantai pasokan bahan bakar penerbangan tahun lalu. Penyelidikan itu menemukan, pasokan untuk penerbangan sipil dialihkan ke militer.
“Kami telah melacak pengiriman baru bahan bakar penerbangan yang kemungkinan berakhir di tangan militer Myanmar, yang secara konsisten melakukan serangan udara yang melanggar hukum,” ujar peneliti dan penasihat Amnesty International untuk bisnis dan hak asasi manusia, Montse Ferrer, di laporkan Aljazirah.
Sejak kudeta militer pada 2021, militer secara brutal menekan para pengkritiknya dan menyerang warga sipil dari darat dan udara. Ferrer mengatakan, pasokan bahan bakar penerbangan yang sampai ke militer memungkinkan kejahatan perang ini. "Pengiriman ini harus dihentikan sekarang," ujar Ferrer.
Panglima Angkatan Darat Min Aung Hlaing merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Myanmar lebih dari dua tahun lalu. Kudeta ini memicu protes massal yang telah berkembang menjadi perlawanan bersenjata di tengah penumpasan militer yang brutal.
PBB mengatakan militer melakukan setidaknya 670 serangan udara pada 2022. Jumlah ini 12 kali lebih banyak dari 54 serangan udara yang pada 2021. PBB mengatakan, beberapa serangan termasuk serangan di sebuah sekolah di wilayah Sagaing pada September lalu yang menewaskan sedikitnya 11 anak merupakan kejahatan perang.
"Kami mendesak siapa pun yang terlibat dalam perdagangan ini untuk mendahulukan orang daripada keuntungan dan berhenti memasok bahan bakar yang memfasilitasi kekejaman ini," kata penyelidik senior di Global Witness, Hanna Hindstrom.
Laporan terbaru menemukan bahwa kapal tanker minyak Prime V, yang berlayar dari pelabuhan Sikka di India pada 22 November, menurunkan bahan bakar penerbangan kelas Jet A-1 di bekas terminal Puma Energy Aviation Sun (PEAS) di pelabuhan Thilawa Myanmar sekitar tiga pekan kemudian.
Perusahaan yang terlibat dalam transaksi tersebut termasuk Reliance Industries India, yang memiliki terminal Sikka, Sea Trade Marine, serta perusahaan Yunani yang merupakan pemilik manfaat dari Prime V. Selain itu, Japan P&I Club juga terlibat menyediakan asuransi perlindungan dan ganti rugi (P&I).
Amnesty International telah menghubungi perusahaan, tetapi hanya Japan P&I Club yang menanggapi. Perusahaan dengan mengatakan, pihaknya mematuhi sanksi yang berlaku pada saat itu dan pertanggungan asuransinya dapat diakhiri jika sebuah kapal terlibat dalam aktivitas ilegal.
Laporan tersebut juga memperoleh bukti pengiriman yang melibatkan kapal tanker Big Sea 104, yang meninggalkan Kilang Minyak Bangchak di Pelabuhan Bangkok sekitar 8 Oktober. Kapal itu tiba di Thilawa sekitar seminggu kemudian. Amnesty International mengatakan, menurut data dari Kpler, sebuah perusahaan informasi komoditas, di bekas terminal PEAS, kapal itu membongkar 12.592 ton bahan bakar Jet A-1.
Kilang Bangchak dimiliki oleh perusahaan publik Thailand Bangchak Corporation. Prima Marine perusahaan Thailand lainnya, adalah pemilik manfaat dari Big Sea 104, sementara P&I Pemilik Kapal yang berbasis di Luksemburg dan menyediakan asuransi. Tak satu pun dari perusahaan ini menanggapi surat Amnesty International terkait pengiriman bahan bakar tersebut.
Laporan itu juga menimbulkan pertanyaan tentang penjualan aset Puma Energy yang berbasis di Swiss dan Singapura ke Myanmar. Puma Energy pada Oktober 2022 menarik diri dari Myanmar setelah menjual asetnya ke "perusahaan swasta milik lokal". Puma Energy telah mendapatkan persetujuan dari pembeli untuk mematuhi "hukum Hak Asasi Manusia" dan tidak menggunakan aset untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Amnesty International menyatakan, transaksi itu selesai pada Desember tahun lalu dan pembeli aset itu adalah Shoon Energy, yang sebelumnya dikenal sebagai Asia Sun Aviation. Shoon Energy adalah bagian dari konglomerat bisnis Myanmar, Asia Sun, yang mengimpor bahan bakar penerbangan atas nama militer kemudian mendistribusikannya ke pangkalan udara.
Dengan hengkangnya Puma Energy, konglomerat ini sekarang mengelola terminal bahan bakar penerbangan utama di pelabuhan Thilawa, bersama dengan Myanmar Petroleum Products Enterprise yang dikendalikan militer.
Orang-orang di belakang grup Asia Sun dan perusahaan terkaitnya dikenai sanksi oleh Inggris dan Uni Eropa atas keterkaitan mereka dengan pasokan bahan bakar ke angkatan udara Myanmar. Namun Amnesty International mencatat bahwa sebelum sanksi dijatuhkan, beberapa nama perusahaan dalam grup tersebut diubah menjadi Shoon Energy.
“Puma Energy telah menyatakan bahwa pembeli asetnya di Myanmar telah berjanji untuk 'mematuhi hukum Hak Asasi Manusia'. Namun, mengingat hubungan dekat antara Shoon Energy dan militer Myanmar, kami khawatir jaminan ini pada dasarnya tidak ada artinya,” kata Ferrer.
Amnesty International dan Global Witness menegaskan kembali seruan mereka kepada negara-negara untuk menangguhkan ekspor dan pengangkutan bahan bakar pesawat ke Myanmar. Termasuk menangguhkan penyediaan layanan pihak ketiga seperti asuransi, pengiriman, atau layanan keuangan untuk kapal yang terlibat dalam pengiriman bahan bakar pesawat ke Myanmar.
“Masyarakat internasional memiliki alat untuk memberlakukan pembatasan ini. Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi kapasitas militer Myanmar untuk meneror warga sipil,” kata Hindstrom.