REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Susi Air meminta maaf kepada seluruh masyarakat di Papua dan Papua Barat. Permintaan maaf tersebut terkait dengan armada terbangnya yang sementara ini tak dapat beroperasi penuh di Bumi Cenderawasih.
Pendiri sekaligus Manager Susi Air, Susi Pudjiastuti mengatakan 40 persen aktivitas terbang maskapai perintis-sipil miliknya itu berhenti beroperasi. Khusus pesawat jenis porter, 70 persen armadanya, tak dapat memenuhi hak transportasi udara masyarakat di provinsi paling tertinggal di Indonesia itu.
“Saya sebagai founder dan pemilik Susi Air, ingin meminta maaf kepada masyarakat Papua, pemerintah daerah, dan seluruh komunitas di Papua yang menjadi terganggu karena armada yang berkurang,” begitu kata Susi di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Pengurangan penerbangan maskapai tersebut, dilakukan setelah Susi Air menjadi objek penyerangan yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Lapangan Paro, Nduga, Papua Pegunungan, Selasa (7/2/2023). Satu pesawat Susi Air jenis pilatusporter dibakar dalam penyerangan yang dilakoni oleh Egianus Kogoya tersebut.
Pilot pesawat, Kapten Philips Mark Marthen disandera dalam serangan itu. Sampai hari ini pun pihak KKB belum melepaskan pilot berkebangsaan Selandia Baru itu. Pemerintah Indonesia, dan otoritas keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Polri juga belum mengambil tindakan militer untuk misi pembebasan.
Upaya negosiasi melalui perantara para tokoh-tokoh adat, dan agamawan, juga belum berhasil membujuk gerilyawan bersenjata itu membebaskan Kapten Philips. “Kalau kita boleh sebut ini tragedi, semoga tragedi ini segera berakhir,” begitu kata Susi melanjutkan.
Karena, menurut dia, semakin panjang dan lamanya upaya pembebasan Kapten Philips akan berdampak kepada situasi keamanan yang menyeret masyarakat di Bumi Cenderawasih. Kata Susi, maskapainya tak mungkin dapat lagi melakukan pemenuhan hak-hak masyarakat Papua dalam mendapatkan akses transportasi udara. Sementara akses transportasi darat yang tak terhubung di Papua.
Selama ini, Susi Air sebagai maskapai perintis, menjadi pioner dalam menghubungkan jarak antarkota dan distrik di Papua, serta membantu mobilitas masyarakat di wilayah tersebut melalui penerbangan murah dan terjangkau. Pun menjadi maskapai andalan dalam pengiriman logistik, serta medis ke wilayah-wilayah terpencil di Papua.
“Kita sudah mencapai wilayah Sentani, Wamena, Nabire, Timika, Manokwari, Marauke, Sorong, dan Biak. Rata-rata setiap hari pesawat kita terbang kurang lebih 60 sampai 100 penerbangan dengan dua jenis pesawat, carravan, dan porter,” begitu kata Susi.
Wilayah-wilayah operasional terbang Susi Air itu, pun kata Susi, dalam misi membantu pemerintah Indonesia agar terbuka akses lebih luas di Papua sampai ke pedalaman. “Kehadiran Susi Air sangat signifikan bagi masyarakat di Papua,” begitu kata Susi.
“Tetapi saya sebagai pendiri dan perintis, sekarang ini tidak bisa melayani lagi apabila penyelesaian Kapten Philips ini tidak bisa baik. Saya berharap semuanya sadar, pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat Papua, masyarakat Papua, dan organisasi yang mengaku sebagai Papua Merdeka bahwa kepentingan masyarakat untuk bisa mendapatkan kebutuhan pokoknya, dan akses transportasi. Itu adalah hak-hak kemanusian yang tidak bisa dihilangkan begitu saja,” sambung Susi.
Sampai saat ini, Rabu (1/3/2023) terhitung sudah 22 hari Kapten Philips dalam penguasaan badan oleh KKB. Usaha pembebasan melalui komunikasi dan negosiasi yang dilakukan otoritas resmi Indonesia dengan KKB melalui tokoh-tokoh adat serta agamawan lokal, belum berhasil membebaskan pilot asal Selandia Baru itu.
Kapolda Papua Inspektur Jenderal (Irjen) Mathius Fakhiri pekan lalu pernah mengatakan negosiasi terakhir berujung pada tuntutan KKB untuk menukar Kapten Philips dengan senjata, amunisi, dan sejumlah uang. Akan tetapi, dikatakan Kapolda, otoritas keamanan Indonesia menolak tuntutan tersebut.
Sementara Juru Bicara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) OPM Sebby Sambom, juga pernah menyampaikan, tentara prokemerdekaan tak akan melepaskan Kapten Philip sebelum Indonesia dan internasional mengakui kemerdekaan dan hak bernegara sendiri masyarakat Papua. “Kami TPNPB Kodap III Ndugama, Derakma, tidak akan pernah kasih kembali atau kasih lepas pilot yang kami sandera ini. Kecuali NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mengakui, dan lepaskan Papua dari negara kolonialnya,” begitu kata Sebby.