REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warganet mungkin sudah tak asing lagi dengan konten-konten flexing atau pamer kekayaan di media sosial. Bagi sebagian orang, paparan konten-konten seperti ini bisa memberikan dampak yang cukup signifikan.
Secara umum, flexing merupakan tindakan memamerkan sesuatu yang berkaitan dengan kekayaan atau ego. Hal-hal yang dipamerkan bisa berupa pakaian, mobil, rumah, hingga gaya hidup yang mewah.
Menurut psikolog Joice Manurung, dampak dari konten flexing terhadap warganet yang menontonnya bisa berbeda-beda. Perbedaan ini bergantung pada tingkat kebutuhan yang mereka miliki dalam hidup.
Bila mengacu pada teori hierarki kebutuhan Maslow, tahap tertinggi dari kebutuhan dasar manusia adalah aktualisasi diri. Menurut Joice, orang-orang yang sudah mencapai tahap aktualisasi diri cenderung tak akan terpengaruh oleh konten-konten flexing di media sosial.
"Dia tidak terganggu sama sekali," ujar Joice melalui sambungan telepon kepada Republika, Rabu (1/3/2023).
Namun, hal yang berbeda bisa terjadi pada orang yang masih berusaha untuk memenuhi suatu kebutuhan. Sebagai contoh, orang yang memiliki kebutuhan akan penghargaan atau (esteem needs) bisa melihat konten flexing sebagai sebuah cara untuk mendapatkan suatu penghargaan atau pengakuan.
"Dia melihat, 'oh cara ini bisa diterima orang ya, followers-nya banyak ya, dapat likes banyak, dapat komen banyak' (dengan membuat konten flexing)," ujar Joice.
Di sisi lain, konten-konten flexing juga bisa memunculkan rasa rendah diri atau insecure pada sebagian warganet yang menontonnya. Warganet mungkin akan membanding-bandingkan pencapaian orang dalam konten tersebut dengan pencapaian dirinya.