Kamis 02 Mar 2023 14:54 WIB

Platform Digital Dinilai Belum Serius Tindak Konten Ujaran Kebencian

Kontens hoaks berpotensi meningkat menjelang Pemilu 2024.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Hoaks (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Hoaks (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai platform-platform digital tidak serius dalam menindak konten bermuatan hoaks dan ujaran kebencian. Padahal, penyebaran konten semacam itu berpotensi meningkat jelang Pemilu 2024.

Peneliti LP3ES, Wijayanto mengatakan, ketidakseriusan platform digital itu tampak dalam forum-forum terkait moderasi konten atau penyaringan konten. Pihak platform digital enggan duduk bersama dengan masyarakat sipil untuk membahas moderasi konten atau penyaringan konten.

Baca Juga

Salah satu contohnya saat Wijayanto menghadiri konferensi internasional bertajuk "Internet for Trust" yang diselenggarakan UNESCO di Paris, Prancis, pada 21-23 Februari 2023 lalu. Ketika itu, pihak platform digital seperti Meta, TikTok, dan Twitter tidak mengirim delegasi.

Dia menyayangkan sikap pihak platform digital tersebut. Sebab, mereka pada dasarnya punya tanggung jawab besar untuk mencegah penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian.

"Kalau kita mau platform digital bersih dari hoaks, mereka harus mau diajak bicara. Tapi mereka tidak datang," ujar Wijayanto dalam acara diskusi virtual yang digelar Universitas Paramadina, Kamis (2/3/2023).

Dalam sejumlah seminar terkait moderasi konten yang diikuti Wijayanto, memang sempat ada perwakilan platform digital yang hadir. Hanya saja, yang datang adalah humas atau penasihat kebijakan di perusahaan platform digital. Kehadiran mereka dinilai tidak menyelesaikan masalah karena pokok perkara moderasi konten ada di tangan engineer platform digital.

"Kita butuh bicara dengan para engineer dari media sosial itu. Masalahnya ada engineer yang tidak peka pada konteks sosial. Mereka tidak mengerti apa itu hate speech, apa itu hoaks, apa itu discourse analysis, semiotika, dan lain sebagainya," ujar Wijayanto.

Humas atau penasihat kebijakan yang datang, kata dia, selalu menyebut sudah ada algoritma yang bekerja untuk menindak konten hoaks dan ujaran kebencian. Namun, mereka tidak pernah mau mengungkapkan bagaimana algoritma itu disusun dan bekerja. "Jadi, masalah untuk moderasi digital kurangnya kemauan platform untuk bicara dan terbuka," ujarnya.

Jelang Pemilu 2024, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI telah berupaya menjalin kerja sama dengan sejumlah platform media sosial untuk menindak konten-konten yang melanggar ketentuan pemilu. Pada akhir 2022 lalu, pimpinan Bawaslu bertemu dengan perwakilan Tiktok Indonesia, yaitu Public Policy & Goverment Relation Manager Faris Mufid.

Meski sudah bertemu, kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat. Kedua belah pihak masih perlu menyamakan persepsi mengenai standar komunitas yang ada pada Tiktok agar selaras dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Termasuk batas batas definisi yang sumir antara ujaran kebencian (hate speech) dengan kebebasan berbicara (freedom of speech).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement