REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Agus Sartono mengatakan, keluarga dapat berperan besar dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Menurut dia, untuk mencegah agar anak tidak menikah pada usia dini maka orang tua perlu menyediakan akses pendidikan yang cukup.
"Seperti misalnya memastikan anak menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Dengan demikian setidaknya anak selesai SLTA pada usia 18 tahun," kata dia, Kamis (2/3/2023).
Selain itu, orang tua perlu memberikan edukasi kepada anak mereka mengenai kesehatan reproduksi. "Pendidikan tentang kesehatan reproduksi ini memang perlu dimulai dari keluarga agar anak-anak tidak terjerumus dalam permasalahan seks sebelum nikah," kata dia.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM itu, juga mengajak orang tua untuk mengingatkan anak-anak mereka mengenai berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan akibat praktik perkawinan anak. Dia mengatakan, potensi dampak negatif paling besar dari pernikahan usia dini adalah terjadinya perceraian, karena secara fisik maupun mental memang belum siap, sehingga sering terjadi perselisihan dan sebagainya.
"Dampak lain dari pernikahan usia dini adalah meningkatnya potensi kematian ibu saat melahirkan akibat kemampuan reproduksi yang belum siap," ujarnya.
Selain itu, kata dia, praktik perkawinan anak juga akan berdampak pada program penanganan kemiskinan. "Karena dalam praktik perkawinan anak biasanya dibarengi dengan ketidaksiapan secara ekonomi, maka angka kemiskinan mungkin akan meningkat," kata dia.
Menko PMK Muhadjir Effendy mengajak semua pihak, khususnya para orang tua, untuk mencegah perkawinan anak guna menghindari berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Perkawinan anak dikhawatirkan membawa dampak negatif. "Seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, kasus stunting atau kekerdilan pada anak yang nantinya dilahirkan hingga munculnya keluarga miskin baru," kata dia.