REPUBLIKA.CO.ID,SEOUL -- Korea Selatan saat ini memiliki citra sebagai masyarakat yang progresif dan terbuka, yang dipopulerkan oleh serial TV Korea dan musik K-pop. Namun, di balik itu tersembunyi realitas yang jauh lebih kelam, setidaknya bagi para imigran Muslim.
Baru-baru ini, pembangunan masjid di kota Daegu seolah menjadi pusat kontroversi. Hal ini menjadi ajang adu domba antara komunitas Muslim setempat dan penduduk di distrik Daehyeong-dong.
Beberapa tahun lalu, sekelompok mahasiswa Muslim mulai menggunakan rumah kosong di lingkungan itu sebagai mushala. Pada September 2020, karena kurangnya ruang, mereka mengajukan dan mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk merenovasi dan memperbesar bangunan.
Namun, beberapa bulan kemudian, otoritas kota berubah pikiran. Perubahan ini terjadi di bawah tekanan dari beberapa warga yang mengeluhkan lokasi pembangunan tersebut.
Dilansir di Asia News, Jumat (3/3/2023), masalah tersebut berakhir di pengadilan dan seorang hakim distrik mengeluarkan putusan yang mendukung para siswa Muslim. Komunitas Muslim menuntut agar pemerintah mencabut perintahnya untuk menghentikan pekerjaan tersebut.
Pada saat itu, beberapa warga memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Setelah kalah dalam banding 2022, mereka mulai memblokir akses ke lokasi konstruksi dengan mobil dan spanduk anti-Islam mereka.
Selama setahun terakhir, ketegangan di Daehyeong-dong semakin tinggi. Meskipun sebagian besar warga secara aktif mendukung kebebasan beragama para siswa, aktivis minoritas terus mengintimidasi umat Islam.
Bulan lalu, penentang pembangunan masjid mengadakan "pesta babi" kedua dalam dua bulan terakhir. Mereka mengklaim, bahwa mereka membela elemen penting dalam budaya Korea. Beberapa bulan sebelumnya, sebuah kepala babi ditinggalkan di depan gedung yang sedang direnovasi.
Islamofobia dan xenofobia tampaknya mengakar kuat, tidak hanya di Daegu sebagai kota yang sangat konservatif, tetapi juga di seluruh Korea Selatan.
Tahun lalu d Ulsan, sebuah kota di tenggara negara itu, sekelompok orang tua memprotes kehadiran anak-anak Afghanistan di sekolah lokal mereka. Bersama orang tua, mereka terpaksa melarikan diri ke Korea Selatan setelah Taliban kembali berkuasa di Kabul.
Pada tahun 2018, kedatangan 500 pengungsi Yaman di Pulau Jeju yang melarikan diri dari perang saudara negara meningkatkan visibilitas kebijakan suaka Korea Selatan. Para pengungsi ini digambarkan sebagai ancaman bagi masyarakat Korea Selatan.
Meskipun populasi Korea Selatan yang menua dengan cepat membuat imigrasi semakin diperlukan untuk menghindari apa yang disebut bom demografis, tetapi koeksistensi berbagai budaya di negara ini masih sangat rumit.
Sumber:
https://www.asianews.it/news-en/Mosque-construction-sparks-tensions-in-Daegu-57874.html