Jumat 03 Mar 2023 10:40 WIB

Menunggu Eksisnya Hakim Profetik dalam Dunia Hukum Indonesia

Hakim profetik diharapkan eksisnya keadilan dalam masyarakat

Suasana persidangan. (ilustrasu).
Foto: Republika/Ali Yusuf
Suasana persidangan. (ilustrasu).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zuhad Aji Firmantoro, SH., MH (Dosen FH Universitas Al-Azhar Indonesia)

Belum lama, dunia peradilan Indonesia dikejutkan dengan putusan hakim dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir Joshua). Bermula dari aduan perkosaan yang dituduhkan kepadanya oleh istri Ferdy Sambo bernama Putri Candrawati. Hidupnya berakhir di tangan Richar Eliezar dan Ferdy Sambo yang masing-masing berstatus atasan dan rekan kerjanya. Ferdy Sambo divonis hukuman mati dan Putri Candrawati divonis 20 tahun penjara.

Keduanya dihukum lebih tinggi dari pada tuntutan jaksa. Sementara Richard Eleizer sebagai algojo yang membunuh Brigadir Joshua justru memperoleh vonis penjara hanya selama 1 tahun 6 bulan. Jauh lebih rendah dari pada tuntutan jaksa dengan alasan utama hakim menetapkannya sebagai Justice Colaborator. Putusan itu disambut dengan sorak sorai apresiasi dari masyarakat luas, termasuk dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Bagi orang hukum, tentu putusan ini menjadi sangat mengejutkan, karena tidak biasanya putusan hakim meleset jauh dari tuntutan jaksa.

Dahulu ada hakim agung bernama Artidjo Alkostar, yang sangat terkenal memvonis para koruptor tanpa ampun. Setiap koruptor yang masuk penghakimannya pasti kalang kabut karena bisa dipastikan palu Artidjo menghukum lebih berat dari pada tuntutan jaksa. “Saya ingin sekali menghukum mati koruptor,” ucapnya dalam sebuah wawancara dengan wartawan pada tahun 2013 silam.

Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak melarang seorang hakim memutus perkara melebihi atau kurang dari tuntutan jaksa. Asas legalitas hanya membatasi hukuman pidana yang diberikan oleh hakim tidak boleh melebihi dari ancaman maksimal pasal pidana yang didakwakan.

Hakim juga tidak boleh menjatuhi jenis pidana yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam undang-undang lainnya. Yang penting dari putusan seperti itu adalah argumentasinya kuat dengan dukungan minimal 2 (dua) alat bukti.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Terdapat 3 (tiga) kata kunci untuk memahami makna fundamental pasal ini, yaitu merdeka, hukum, dan keadilan. Kemerdekaan berarti institusi peradilan dan pribadi hakim harus bebas dari berbagai pengaruh di luar pengadilan. Hukum berarti segala aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang melingkupi kejadian. Keadilan berarti penerimaan hati nurani, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement