REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar hukum tata negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengomentari soal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pemilu. Menurutnya, keputusan tersebut aneh.
"Putusan ini aneh," kata Zainal Arifin kepada Republika, Jumat (3/3/2023). Ia menjelaskan secara keperdataan, putusan PN Jakpus harusnya hanya mengembalikan hak keperdataan penggugat.
Putusan PN Jakpus menurutnya tidak bisa serta merta mengubah jadwal pemilu. "Lagipula ini bukan kompetensinya. Maka harusnya bukan kewenangan pengadilan negeri," ujarnya.
Ditambahkan, lembaga seperti Bawaslu dan PTUN justru dinilai lebih berkaitan dengan proses pemilu dan surat keputusan yang berkaitan dengan jadwal. Hal tersebut dinilai merupakan persoalan kompetensi hakim memutusnya.
Untuk itu menurutnya, KPU harus banding dan negara harus serius menyikapi persoalan tersebut. "Pengawasan hakim yang berani macam ini juga harus kencang. KY dan MA harus periksa," tegasnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sebelumnya memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) pada Kamis (2/3). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika, Kamis (2/3).
Gugatan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. itu menjadikan KPU sebagai tergugat. Gugatan ini diajukan sejak 8 Desember 2022 oleh PRIMA. Majelis hakim memutuskan menolak eksepsi KPU yang menganggap gugatan PRIMA kabur atau tidak jelas.