Jumat 03 Mar 2023 14:26 WIB

Bawaslu Tegaskan Putusan PN Jakpus tidak Bisa Jadi Landasan Penundaan Pemilu

Penundaan pemilu harus dilakukan melalui perubahan undang-undang.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Anggota Bawaslu Puadi (kiri) bersama Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (kanan) memberikan keterangan pers terkait laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu oleh Anies Baswedan lewat tabloid yang disebar di masjid di Malang, Jawa Timur, di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Bawaslu memutuskan bahwa laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena belum ada daftar peserta Pemilu 2024.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Anggota Bawaslu Puadi (kiri) bersama Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (kanan) memberikan keterangan pers terkait laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu oleh Anies Baswedan lewat tabloid yang disebar di masjid di Malang, Jawa Timur, di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Bawaslu memutuskan bahwa laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena belum ada daftar peserta Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Puadi angkat bicara terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), yang memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024. Menurut Puadi, putusan tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk menunda pemilu.

"Saya pribadi berpandangan putusan PN Jakpus yang sedang ramai diperbincangkan publik saat ini patut dihargai, tetapi tetap dengan catatan. Penundaan pemilu tidak mungkin dilakukan hanya dengan adanya amar putusan PN," kata Puadi kepada wartawan, Jumat (3/3/2023).

Baca Juga

Puadi menjelaskan, putusan pengadilan negeri tidak bisa membatalkan amanat konstitusi soal gelaran pemilu setiap lima tahun sekali. Apalagi, putusan PN Jakpus adalah putusan perdata sehingga tidak memiliki sifat erga omes atau mengikat semua orang. Putusan perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat.

Pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali, menurut Puadi, tertera dengan jelas dalam Pasal 22 E ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 167 ayat 1 UU Pemilu. "Artinya, mengingat pemilu merupakan agenda fundamental negara, maka jika ingin menunda pemilu maka dibutuhkan perubahan UUD," kata Puadi.

Puadi menambahkan, putusan PN Jakpus itu tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tapi juga UU Pemilu. Sebab, dalam UU Pemilu tidak ada istilah penundaan pemilu, hanya ada pemilu susulan dan pemilu lanjutan.

PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023) membacakan putusan atas gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima melayangkan gugatan karena merasa dirugikan oleh KPU RI dalam proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. KPU diketahui menyatakan Prima tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis hakim menghukum KPU untuk menghentikan tahapan Pemilu 2024 yang tengah berjalan dan mengulang tahapan pemilu sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Ketua Majelis Hakim yang memutuskan penundaan pemilu ini adalah T Oyong, dengan hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban. Sementara itu, KPU menyatakan bakal mengajukan banding atas putusan PN Jakpus tersebut. Terkait amar putusan menunda Pemilu 2024, KPU tidak akan melaksanakannya.

KPU RI menegaskan, akan tetap melaksanakan tahapan Pemilu 2024 sesuai jadwal yang sudah ditetapkan dalam Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2022. KPU tetap melanjutkan tahapan pemilu karena putusan PN Jakpus tidak membatalkan Peraturan KPU Nomor 33 itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement