REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan, dia telah menugaskan menteri dalam negeri dan intelijen untuk menyelidiki insiden peracunan yang menargetkan kalangan siswi sekolah di negara tersebut. Dia menuduh ada musuh Iran yang mendalangi kejadian tersebut.
“Musuh ingin menciptakan ketakutan di sekolah-sekolah dan menciptakan kekacauan di berbagai bidang melalui ketidakamanan dan atmosfer ketakutan serta keputusasaan,” kata Raisi, Jumat (3/3/2023), dikutip laman Al Arabiya.
Raisi mengaku telah menugaskan menteri dalam negeri dan intelijen Iran untuk menyelidiki peracunan serta menggagalkan konspirasi tersebut. Dia berjanji laporan tentang hasil penyelidikan akan segera dipublikasikan kepada masyarakat di negaranya.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) telah menyampaikan keprihatinan mendalam atas fenomena peracunan yang membidik kalangan siswi sekolah di Iran. “Ini sangat memprihatinkan berita yang keluar dari Iran,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby, Kamis (2/3/2023).
Kirby mengungkapkan, AS tidak tahu apa yang menyebabkan fenomena tersebut. “Kami melihat laporan bahwa Pemerintah Iran sedang menyelidikinya, itu tindakan yang tepat. Kami ingin investigasi itu menyeluruh dan lengkap, dan kami ingin mereka transparan,” ujarnya.
Dalam tiga bulan terakhir, ratusan kasus gangguan pernapasan telah dilaporkan di kalangan siswi di Iran. Pada Kamis lalu, media Pemerintah Iran melaporkan bahwa 21 mahasiswi dilarikan ke rumah sakit setelah mereka diracuni di asrama mereka di kota Karaj, sebelah barat ibu kota Teheran.
Sehari sebelumnya, yakni pada Rabu (1/3/2023), setidaknya 10 siswi sekolah menjadi sasaran serangan racun. Sebanyak tujuh siswi tinggal di Ardabil, sementara tiga lainnya berasal dari Teheran.
Pekan lalu Wakil Menteri Kesehatan Iran Younes Panahi mengatakan, peracunan itu ditujukan untuk menghentikan pendidikan bagi anak perempuan di negara tersebut.
Beberapa warga Iran, termasuk aktivis terkemuka, menuduh Pemerintah Iran bertanggung jawab atas serangan itu. Mereka percaya bahwa peracunan merupakan aksi disengaja dan bertujuan membalas dendam terhadap siswi atau mahasiswi yang ikut dalam demonstrasi memprotes kematian Mahsa Amini.
Iran diketahui menghadapi gelombang demonstrasi selama berbulan-bulan akibat kematian Mahsa Amini. Pada 13 September 2022, Mahsa Amini, wanita berusia 22 tahun, ditangkap polisi moral Iran di Teheran.
Penangkapan itu dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Setelah ditangkap, Amini pun ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan.
PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Saat ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes.
Sejak demonstrasi pecah, ribuan warga Iran dilaporkan telah ditangkap. Iran pun telah mengeksekusi sejumlah warganya yang terlibat dalam aksi penyerangan dan pembunuhan pasukan keamanan. Menurut organisasi Iran Human Rights (IHR), masih terdapat 100 warga lainnya yang menghadapi risiko hukuman mati.