REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri menunggu penuntasan pidana untuk menyeret Inspektur Jenderal (Irjen) Teddy Minahasa ke sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, Irjen Teddy tak dapat diseret ke mahkamah etik internal kepolisian, sebelum adanya keputusan terkait kasus penjualan barang bukti sabu-sabu yang sampai saat ini masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar).
“Tetap kita (Polri) menunggu proses persidangan pidana umumnya terlebih dahulu pasti,” kata Irjen Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Irjen Teddy, adalah mantan Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini menjadi terdakwa kasus kartel narkotika sabu-sabu. Jenderal polisi bintang dua itu ditangkap Polda Metro Jaya lantaran ada terkait dengan penilapan, dan penjualan barang bukti sabu-sabu seberat 5 Kilogram (Kg). Kasusnya saat ini masih dalam proses di PN Jakbar.
Dedi menerangkan, selama proses pidana umum terhadap Irjen Teddy belum rampung sampai inkrah, proses etik untuk pemecatan atau tidak, belum dapat dilakukan. “Tetap menunggu proses pidana umumnya selesai dulu. Baru dilakukan sidang KKEP,” kata Irjen Dedi menerangkan.
Irjen Dedi mengambil contoh sidang etik terhadap anggota kepolisian berpangkat rendah, Bharada Richard Eliezer (RE) yang juga menjalani KKEP setelah kasus pidana yang menjeratnya rampung di PN Jakarta Selatan (Jaksel). Bharada Richard, adalah anggota Polri yang terbukti di pengadilan menjadi eksekutor pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).
“Seperti halnya Eliezer, begitu pidananya selesai, langsung diumumkan oleh Pak Karo untuk sidang etiknya,” begitu terang Irjen Dedi.
Namun ketika ditanya mengapa proses sidang etik terhadap Irjen Teddy itu tak mengambil contoh ketika Polri menyeret Ferdy Sambo ke sidang KKEP sebelum proses pidananya di persidangan belum digelar? Dedi menilai kasusnya berbeda.
Sambo adalah terdakwa utama, dan dalang pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di Duren Tiga 46. Saat pembunuhan Brigadir J itu terjadi, Juli 2022 Sambo masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Irjen.
Akan tetapi setelah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana, pada awal Agustus 2022, Polri cepat menyeretnya ke sidang KKEP. Dua kali sidang KKEP menghasilkan keputusan memecat Sambo dari keanggota di Polri. Sementara persidangan pidana untuk Sambo di PN Jaksel, baru dimulai sekitar November 2022.
Dalam kasus tersebut PN Jaksel menghukum Sambo dengan pidana mati. Satu anggota kepolisian lainnya, yang juga dipidana 13 tahun dalam kasus yang sama, yakni Bripka Ricky Rizal dan belum menjalani sidang etik di kepolisian.
Sedangkan Bharada Richard, setelah dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, dan inkrah, Rabu (15/2/2023), baru pada Selasa (22/2/2023) menjalani sidang etik. Namun kata Irjen Dedi melanjutkan, dalam kasus etik Irjen Teddy dan Sambo tak dapat disamakan. Dan kata Irjen Dedi jangan dibanding-bandingkan.
“Beda case-nya. Jadi antara case TM (Teddy Minahasa) dan Sambo tidak bisa dibandingkan apple to apple. Nggak bisa,” ujar Irjen Dedi melanjutkan.
Namun Irjen Dedi juga tak dapat menjelaskan ketika ditanya mengapa pula ada dua praktik yang berbeda di internal Polri terhadap dua jenderal polisi itu dalam menjalankan proses sidang etik.
“Tidak usah terlalu detail. Kalau detail itu kewenangan hakim komisi (etik). Hakim komisi itu rapat dulu sebelum melaksanakan proses persidangan. Nanti menunggu proses hukumnya selesai dulu. Jadi tidak bisa apple to apple, dan karena setiap case itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri, memiliki penafsiran sendiri-sendiri. Dan hakim komisi etik punya alasan yuridis sendiri yang bisa dipertanggungjawabkan,” jelas Irjen Dedi.
Akan tetapi, terhadap jenderal polisi yang bermasalah hukum, dan sudah inkrah di pengadilan, serta sudah menjadi terpidana, dan saat ini berada dalam penjara, pun masih ada yang belum menjalani sidang etik.
Beberapa nama di antaranya, adalah Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigadir Jenderal (Brigjen) Prasetyo Utomo. Irjen Napoleon, adalah mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri yang saat ini menjalani masa pidana karena dua kasus.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengharapkan adanya kepastian dari Polri untuk segera menggelar sidang etik terhadap para anggota Polri yang terseret masalah-masalah hukum. Komisioner Kompolas Poengky Indarti mengingatkan agar Polri dalam menjalankan disiplin, dan kode etik terhadap anggotanya, tak diskriminatif.
“Kita berharap untuk nama-nama tersebut segera disidangkan (KKEP). Karena agar jangan sampai ada kesan terhadap kepolisian, juga melakukan priktik diskriminasi terkait dugaan pelanggaran-pelanggaran etik terhadap nama-nama tersebut,” ujar Poengky.
Berkas banding
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyerahkan berkas memori banding empat terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Maruf serta Bripka Ricky Rizal ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Pelimpahan memori upaya hukum pertama itu dilakukan pada Jumat (3/3/2023).
Pejabat Humas PN Jaksel Djuyamto menerangkan, setelah pelimpahan memori banding tersebut, nasib hukum para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) itu berada dalam kewenangan hakim tinggi di PT DKI Jakarta.
“Berkas empat terdakwa: Ferdy Sambo; Putri Candrawathi; Kuat Maruf; dan Ricky Rizal telah diserahkan ke PT DKI Jakarta dalam proses banding,” ujar Djuyamto.
Dalam proses banding, majelis hakim tinggi tak lagi memeriksa materi pokok perkara. Hakim tinggi hanya memeriksa seluruh berkas-berkas perkara, hasil dari rangkaian dan proses persidangan para terdakwa di PN Jaksel. Termasuk pemeriksaan atas vonis dan hukuman yang dijatuhkan hakim tingkat pertama kepada para terdakwa, apakah sudah sesuai dengan aturan pidana, dan acara pidana.
Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, majelis hakim PN Jaksel menjatuhkan hukuman pidana mati terhadap terdakwa Sambo. Hakim juga menjatuhkan pidana berat dengan pidana penjara seumur hidup terhadap terdakwa Putri.
Terhadap terdakwa Kuat hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana 15 tahun penjara. Dan terhadap terdakwa Ricky dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Para terdakwa itu terbukti bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUH Pidana, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.