Sabtu 04 Mar 2023 01:57 WIB

Sosiolog Yakini Sekolah Mulai Pukul 5 Pagi tak akan Efektif

Perlu ada inovasi pembelajaran yang berfokus pada tujuan-tujuan yang komprehensif.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti apel pagi penerapan aktivitas sekolah mulai pukul 05.00 WITA di halaman SMA Negeri I Kupang di Kota Kupang, NTT, Rabu (1/3/2023). Pemerintah provinsi NTT menerapkan kebijakan aktivitas sekolah bagi SMA/SMK Negeri di NTT dimulai pukul 05.00 WITA dengan alasan untuk melatih karakter siswa/siswa SMA/SMK di NTT.
Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti apel pagi penerapan aktivitas sekolah mulai pukul 05.00 WITA di halaman SMA Negeri I Kupang di Kota Kupang, NTT, Rabu (1/3/2023). Pemerintah provinsi NTT menerapkan kebijakan aktivitas sekolah bagi SMA/SMK Negeri di NTT dimulai pukul 05.00 WITA dengan alasan untuk melatih karakter siswa/siswa SMA/SMK di NTT.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu menanggapi aturan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang mewajibkan siswa SMA/ SMK masuk sekolah jam 5 pagi. Ia menilai, aturan masuk sekolah jam 5 pagi harus dibuat dengan dasar dan tujuan yang jelas, berdasarkan kajian empiris yang sahih dan valid atas keberhasilan program serupa di tempat-tempat lain.

"Misalnya, ada contoh beberapa sekolah di Indonesia atau di negara-negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut. Siswanya berhasil dalam bidang akademik maupun non akademik. Maka, kebijakan tersebut layak diujicobakan. Jika tidak atau belum ada kajian yang komprehensif dan valid, lebih baik ditunda dulu," kata Tuti, Jumat (3/3/2023).

Baca Juga

Tuti melanjutkan, jika aturan tersebut hanya berdasarkan pada satu kebijakan tunggal tanpa diiringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung tujuan tersebut, maka hasilnya pun tidak akan optimal. Dengan kata lain, pemajuan jam masuk sekolah tidak akan menghasilkan apa-apa.

"Perlu ada inovasi pembelajaran yang berfokus pada tujuan-tujuan yang komprehensif. Misalnya, masuk pagi dimulai dengan olahraga bersama dengan tujuan melatih fisik dan sportivitas siswa serta menyegarkan badan dan pikiran siswa," ujarnya.

Tuti mengatakan, aturan tersebut tentu akan memberatkan siswa karena mereka mau tidak mau harus patuh terhadap aturan sekolah. Namun di sisi lain, aturan tersebut belum tentu membuat siswa senang dan semangat untuk bersekolah.

Dalam istilah sosiologi pendidikan, lanjutnya, siswa dapat mengalami kekerasan simbolik. Artinya, siswa dan para guru sebenarnya mengalami kekerasan akibat aturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, kekerasan itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan karena tujuannya dianggap baik yaitu untuk mendisiplinkan siswa dan lain sebagainya.

"Pada hakikatnya, belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan kegiatan yang membuat anak tertekan. Jika aturan tersebut dibuat, maka kemungkinan siswa akan malas bersekolah dan bahkan bisa menyebabkan putus sekolah. Jadi sekali lagi kebijakan itu akan menjadi tidak efektif," kata Tuti.

Tuti mengatakan, untuk mencapai pembelajaran yang efektif, maka upaya yang harus dilakukan bukan dengan memajukan jam masuk sekolah. Melainkan, membekali para guru dengan keterampilan interaksi yang baik dengan murid serta melibatkan siswa dalam berbagai program pembelajaran.

"Tumbuhkan kesadaran kritis mereka dan beri ruang berekspresi yang aman, nyaman, dan menyenangkan agar tercipta iklim pembelajaran yang berkualitas. Dan tidak lupa pula, siapkan sarana-prasarana belajar yang memadai, sehingga suasana belajar di sekolah dapat membuat betah siswa," kata Tuti.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement