REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Ribuan orang Israel kembali turun ke jalan dalam protes upaya pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu merombak sistem peradilan. Akhir pekan ini demonstrasi di kota-kota Israel memasuki pekan kesembilan.
Pada Sabtu (4/3/2023) malam unjuk rasa di Tel Aviv dan lokasi-lokasi lain berjalan damai. Tapi polisi merilis video yang menunjukkan pengunjuk rasa menghancurkan penghalang di Tel Aviv dan menyalakan api untuk memblokir jalan. Polisi menyiram meriam air ke pengunjuk rasa.
"Saya datang berunjuk rasa untuk melawan revolusi rezim, yang pemerintah Israel paksakan pada kami," kata salah satu pengunjuk rasa Ronen Cohen.
"Saya harap unjuk rasa besar akan berdampak dan membuktikan kami tidak akan menyerah," kata guru sejarah berusia 53 tahun itu.
Unjuk rasa yang digelar setiap pekan sejak Netanyahu mengincar Mahkamah Agung ini menarik massa yang sangat besar.
Pengunjuk rasa menolak legislasi yang Netanyahu dan pemerintah koalisi ekstrem kanan ajukan untuk membatasi wewenang Mahkamah Agung pada legislatif dan eksekutif. Lalu memberi kekuasaan pada parlemen menunjuk hakim.
Pendukung legislasi ini mengatakan jangkauan Mahkamah Agung pada lingkup politik harus dikendalikan. Kritikusnya mengatakan rencana ini akan melemahkan pengadilan, membahayakan kebebasan sipil dan merugikan ekonomi karena merusak hubungan dengan negara-negara Barat.
Intensitas unjuk rasa semakin memanas sejak Rabu (1/3/2023) lalu ketika polisi Israel menembakan granat kejut dan berkelahi dengan pengunjuk rasa di Tel Aviv.
"Terdapat bahaya besar Israel akan berubah menjadi negara diktaktor, kami terus datang ke sini untuk berdemonstrasi sampai kami menang," kata seorang guru sekolah menengah atas, Ophir Kubitsky yang berusia 68 tahun.