REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Public Virtue Research Institute (PVRI), sebuah lembaga advokasi dan kajian demokrasi, menyoroti dampak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Putusan itu diyakini bakal membuat pemilih muda hilang kepercayaan terhadap partai baru atau partai alternatif.
Direktur Eksekutif PVRI Miya Irawati menjelaskan, dampak itu bisa terjadi karena putusan PN Jakpus tersebut merupakan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Partai baru ini lah yang menuntut agar KPU RI dihukum menghentikan sisa tahapan Pemilu 2024 dan mengulang semua tahapan sedari awal.
Putusan tersebut, kata Miya, jelas bertentangan dengan konstitusi, yang mengamanatkan pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Dengan begitu, Prima bersama PN Jakpus berarti telah mengambil hak 204 juta calon pemilih yang hendak mencoblos pada tahun 2024.
Mayoritas dari calon pemilih itu adalah anak muda berusia 17-39 tahun. Jumlah mereka 100 juta orang lebih atau sekitar 60 persen dari total calon pemilih. Para pemilih muda ini diyakini bakal mewujudkan kekecewaannya atas penundaan pemilu dengan cara enggan mencoblos Prima. Bisa jadi, mereka juga enggan memilih partai-partai baru lainnya.
"Dengan demikian, apa yang dilakukan partai Prima dengan sengaja menunda pemilu 2024 melalui tuntutannya di PN Jakpus membuat publik, terutama anak muda menjadi apatis, menjadi tidak percaya terhadap partai kecil atau partai alternatif," kata Miya saat konferensi pers merespons putusan PN Jakpus, Ahad (5/3/2023).
Keengganan pemilih muda ini, lanjut dia, pada akhirnya bakal membuat peta politik Indonesia stagnan. Sebab, pemilih pemula yang mayoritas itu tidak mau memberikan suara terhadap partai alternatif, sehingga partai lama akan kembali mendulang suara besar.
"Pada akhirnya kemunduran demokrasi terus memburuk karena hanya partai besar, partai konvensional beserta koalisinya saja yang akan tetap mendominasi dan menguasai peta politik kita," ujar Miya.
Sementara itu, pihak Prima menyebut bahwa gugatan mereka ke PN Jakpus bukanlah sesuatu yang dilakukan secara tiba-tiba. Usai dinyatakan tidak lolos sebagai peserta 2024, Prima sudah mengajukan gugatan ke Bawaslu dan dua kali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, mereka selalu kalah.
Lantaran merasa tidak kunjung mendapatkan keadilan atas keputusan KPU yang menyatakan prima tidak memenuhi syarat administrasi, Prima akhirnya melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke PN Jakpus. Tergugatnya adalah KPU RI.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan KPU RI melakukan PMH. Majelis hakim menghukum KPU RI untuk menghentikan tahapan Pemilu 2024 dan mengulang tahapan pemilu sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak putusan dibacakan. Artinya, pemilu yang sejatinya digelar 14 Januari 2024 ditunda menjadi Juli 2025.
Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono mengatakan, pihaknya memang meminta PN Jakpus menghukum KPU RI menghentikan tahapan Pemilu 2024 dan mengulang semua tahapan sedari awal. Sebab, hanya dengan mengulang tahapan pemilu lah partainya bisa mengikuti proses verifikasi lagi, sehingga bisa menjadi partai politik peserta pemilu.
"Bagaimana caranya kita bisa ikut Pemilu 2024, ya mengulang proses dan tahapan pemilu," kata Jabo saat konferensi pers di Kantor DPP Prima, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Mantan aktivis '98 ini meminta semua pihak menghormati putusan PN Jakpus tersebut.
Sementara itu, KPU RI menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Terkait perintah mengulang atau menunda Pemilu, KPU RI tidak akan menjalankannya.
KPU RI tegas menyatakan akan tetap melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dengan menggunakan landasan hukum Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebab, beleid tersebut tidak dibatalkan oleh putusan PN Jakpus.