REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Saat Allah SWT berfirman tentang kebolehan untuk tidak berpuasa bagi sebagian kelompok:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain" (Al-Baqarah ayat 185)
Mengutip buku Bekal Ramadhan dan Idul Fitri 1: Menyambut Ramadhan tulisan Saiyid Mahadhir, menyebut ada kewajiban mengganti di hari lain, dan hari yang lain yang dimaksud oleh ayat diatas adalah umum, yaitu hari-hari lain selain dari hari dimana ia sakit dan hari lain selain hari dimana ia sedang dalam kondsi safar atau perjalanan, demikian At-Thabari memberikan komentar.
Sehingga wajar jika istri nabi sendiri yang bernama Aisyah ra pernah meng-qadha puasa yang pernah ia tinggalkan hingga dibulan Sya'ban berikutnya, berikut penuturan Aisyah ra:
كان يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ
أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
"Dulu saya pernah memiliki hutang puasa Ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya'ban" (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama menggabungkan ayat Al-Quran yang memberikan petunjuk yang umum, dengan perilaku Aisyah ra ini, sehingga sebagian ulama menilai bahwa mengqadha puasa ramadhan dihari lain yang dimaksud didalam ayat tersebut dibatasi sebelum datang ramadhan berikutnya.
Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani didalam kitabnya Fath al-Bari memberikan pendapatnya bahwa:
وَيُؤْخَذُ مِنْ حِرْصِها على ذلك في شعبان ألهُ لا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْقَضاءِحَتَّى يَدْخُلُ رَمَضَانُ آخَرُ
"Diambil kesimpulan dari perhatian dan semangatnya A'isyah ra mengqadha puasanya di bulan sya'ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya"
Perihal menunda qadha ramadhan hingga datang ramadhan berikutnya harus memenuhi dua kondisi, pertama menunda karena sebab-sebab khusus, seperti sakit yang menahun, atau kehamilan yang tidak berjarak, atau kondisi perjalanan yang belum selesai. Maka dalam kondisi seperti ini mereka tidak berdosa, namun yang namanya utang tetaplah harus dibayar ketika kondisi diatas sudah tidak ada lagi.
Kedua, menunda karena alasan malas, lalai, atau terkesan meremehkan, maka dalam kondisi seperti ini para ulama berbeda pandangan apakah selain utang puasanya tetap harus dibayar ia juga dikenakan kewajiban semacam hukuman tambahan atas kelalaiannya atau tidak.
Dalam madzhab Hanafi, Imam Al-Kasani (w. 587) menuliskan sebagai berikut:
إِنَّهُ إِذا أَخْرَ قَضَاءَ رَمَضانَ حَتَّى دَخلَ رَمَضَانُ آخَرُ فَلَا فِدْيَةً عَلَيْهِ
"ketika seseorang menunda qadha sampai masuk ramadhan berikutnya maka tidak ada fidyah baginya"
Sedangkan Jumhur Ulama menilai bahwa selain tetap diwajibkan bagi mereka membayar utang puasanya mereka juga dikenakan kewajiban tambahan yaitu membayar fidyah, berupa memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ia tinggalkan sebesar satu mud (seperempat dari besaran zakat fitrah)
Pedapat mayoritas ulama ini diyakini juga sebagai pendapat sahabat Ibnu Umar ra Ibnu Abbas ra dan Abu Hurairah ra, demikian tegas As-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Authar, juga dijelaskan dalam kitab Al-Majmu'.
Apapun itu yang jelas dalam perkara utang baik utang kepada sesama manusia atau hutang kepada Allah swt semuanya sangat baik disegerakan dan tidak baik ditunda-tunda.