Senin 06 Mar 2023 09:38 WIB

Indonesia Diminta Belajar dari Sengketa Laut Filipina Vs Cina

Cina sudah melakukan operasi “gray zone” terhadap Filipina berkali-kali sejak 1995.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Konflik Laut Cina Selatan.
Foto: AP
Konflik Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia diminta mengambil pelajaran dari sengketa laut antara Filipina dengan Tiongkok. Pasalnya, Indonesia berpeluang menghadapi sengketa yang sama di Laut Natuna.

Hal itu dikatakan oleh Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto dalam webinar yang digelar secara daring. Menurutnya, pengalaman Filipina menghadapi Gray Zone Cina di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina menjadi pelajaran penting bagi Indonesia.

Baca Juga

"Indonesia juga menghadapi strategi gray zone China di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna," kata Johanes dalam keterangan yang dikutip Republika pada Ahad (5/3). 

Sementara itu, Pakar Hubungan Internasional dari Universitas De La Salle University di Filipina, Profesor Renato Cruz DeCastro mengamati Cina sudah melakukan operasi “gray zone” terhadap Filipina berkali-kali sejak 1995. Ia menerangkan gray zone bertujuan mencapai target politik dari peperangan tanpa harus mengerahkan kekuatan militer. 

"Operasi gray zone diterapkan Cina kepada negara-negara yang memiliki perbatasan laut dengan Cina agar agresi militer tetap berada di bawah tingkat operasi laut yang sesungguhnya, dan dapat disembunyikan melalui bantahan-bantahan," ujar Renato.

Renato meyakini cara ini bentuk dari strategi perang Sun Zhu dimana mengajarkan cara menang dalam peperangan tanpa berperang. Berdasarkan prinsip itu, menurutnya Tiongkok berusaha menekankan klaimnya di Laut Cina Selatan.

"Antara lain dengan membangun dan melakukan militerisasi pada pulau-pulau buatan di wilayah-wilayah yang masih berada dalam sengketa dengan Vietnam dan Filipina, mengirimkan kapal-kapal nelayannya ke wilayah Laut Cina Selatan, serta menugaskan kapal-kapal unit lautnya untuk melakukan berbagai maneuver seperti yang terjadi pada awal bulan Februari ini di wilayah ZEE Filipina," ucap Renato.

Diketahui, Filipina mengungkapkan sebuah kapal milik Penjaga Pantai Tiongkok telah menembakkan laser berstandar militer ke arah kapal penjaga pantai Filipina di Laut Cina Selatan pada medio Februari 2023.

"Wilayah penembakan itu terjadi merupakan bagian dari ZEE Filipina. Filipina menganggap kejadian itu sebagai pelanggaran atas hak berdaulat Filipina," ujar Prof Renato. 

Selain itu, Renato memandang model operasi gray zone Tiongkok terlihat dari manuver terhadap Filipina dalam hampir dua dasawarsa terakhir. Di tahun 1995, militer Tiongkok membangun pangkalan di Mischief Reef, sebuah pulau karang yang berada dalam wilayah ZEE Filipina.

Pada pertengahan 2012, kapal Angkatan Laut Filipina yang ingin menangkap delapan perahu nelayan Tiongkok yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah sengketa Scarborough Shoal dihadang oleh dua kapal otoritas sipil Tiongkok. Hanya saja, peristiwa itu justru berakhir dengan penguasaan de facto Tiongkok atas Scarborough Shoal.

Padahal, lanjut Renato, sebelumnya terjadi kesepakatan agar masing-masing pihak mundur dari wilayah dimaksud. Namun usai kapal otoritas Filipina mundur, Tiongkok langsung mengutus kapal-kapal penjaga pantai lainnya ke wilayah itu.

Renato juga mengamati operasi gray zone masih terjadi di era pemerintahan Presiden Duterte. Padahal Duterte dikenal sebagai presiden Filipina yang condong membangun hubungan baik dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping.

"Di tengah hubungan yang dekat itu, sebanyak 275 kapal nelayan China menyambangi pulau Thitu yang berada di bawah penguasaan Filipina," ucap Renato. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement