REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Kesehatan Jawa Timur mencatat terdapat enam warga Pacitan yang meninggal akibat terpapar Kencing Tikus atau Leptospirosis, sepanjang 2023. Secara keseluruhan ada sekitar 204 warga Pacitan yang mengalami gejala seperti terjangkit kencing tikus. Berdasarkan tes yang dilakukan, ada 133 pasien yang terkonfirmasi positif terpapar kencing tikus.
"Datanya nanti tak lengkapi ya. Kemarin masih dinamis. Nanti siang saya mau pertemuan dengan teman-teman dari kabupaten/ kota nanti dilengkapi datanya," kata Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, Erwin Ashta Triyono di Surabaya, Senin (6/3/2023).
Meski sudah ada enam pasien meninggal akibat paparan kencing tikus, Erwin menyatakan pihaknya belum menetapkan status Kejalian Luar Biasa (KLB). Erwin mengaku tidak ingin mengutamakan layak atau tidaknya penetapan KLB, dan lebih fokus pada upaya menyelesaikan masalah yang ada.
"Belum ditentukan (KLB). Sebetulnya KLB itu nanti tergantung definisinya. Tapi apapun bentuk definisinya tetap surveilance menjadi isu penting. Cari, kemudian diberikan tata laksana maksimal, sehingga jangan sampai terbentur dengan masalah istilah, tetapi lebih pada upaya menyelesaikan masalah," ujarnya.
Erwin mengungkapkan, sebanarnya hampir setiap tahun di sejumlah daerah di Jatim tercatat ada kasus kencing tikus, dengan jumlah kasus yang hampir sama. Kasus kencing tikus biasanya ditemui saat memasuki musim hujan. Pada prinsipnya, kata Erwin, kasus kencing tikus banyak ditemui pada daerah-daerah yang menjadi tempat terbaik untuk pengembangbiakan tikus.
"Kita tahu bahwa bakteri leptospiral ini memang endemi di dalam tikus, khususnya di daerah ginjal dan saluran kencing. Sehingga wajar tikus itu punya peranan penting dalam penularan," kata Erwin.
Erwin mengatakan, dari seluruh kasus kencing tikus yang ditemui, sekitar 90 persennya bergejala ringan. Bahkan hampir sama dengan gejala flu pada umumnya. Sedangkan 10 persennya bisa mengalami gejala berat. Maka dari itu, ia berharap 90 persen kasus dengan gejala ringan tersebut penyelesaiannya bisa dilakukan di tingkat Puskesmas.
"Sedangkan untuk yang 10 persen yang lanjut kita sudah dorong rumah sakit untuk menyiapkan terutama antibiotik-antibiotil dari kelompok sefalosporin," ujarnya.