REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) melanjutkan upaya memperbaiki hubungan dengan Jepang. Pemerintah Negeri Ginseng mengumumkan rencana membayar kompensasi warga Korsel yang menjadi korban kerja paksa selama masa penjajahan Jepang.
Korsel tidak mengharuskan perusahaan Jepang berkontribusi pada reparasi ini. Rencana tersebut mencerminkan upaya Presiden Yook Suk Yeol untuk menguatkan hubungan dengan Jepang dan mengamankan hubungan yang lebih baik antara Seoul, Tokyo dan Washington dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara (Korut).
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden segera memuji langkah itu sebagai 'terobosan lembaran baru' pada kerja sama dua sekutu terkuat AS di Asia. Rencana ini yang mengandalkan dana yang dikumpulkan di Korsel ini segera mendapat kritik dari para korban kerja paksa dan pendukungnya.
Mereka menuntut agar kompensasinya dibayar langsung perusahaan-perusahaan Jepang yang mempekerjakan mereka dan permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Hubungan Seoul dan Tokyo sangat rumit berkaitan penjajahan Jepang di Semenanjung Korea dari tahun 1910 sampai 1945.
Pada Perang Dunia II ratusan ribu orang Korea dipaksa bekerja untuk perusahaan Jepang atau menjadi budak seks di prostitusi militer Tokyo. Sebagian besar korban kerja paksa sudah meninggal dunia dan penyintas yang tersisa berusia 90-an tahun.
Pada tahun 2018 Pengadilan Tinggi Korsel memerintahkan dua perusahaan Jepang yakni Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries untuk membayar kompensasi pada 15 korban kerja paksa, kini tinggal tiga yang masih hidup dan semuanya berusia 90 tahun lebih.
Dalam konferensi pers yang disiarkan di televisi Menteri Luar Negeri Park Jin mengatakan para korban akan mendapatkan kompensasi melalui yayasan milik pemerintah yang didanai dari sumbangan warga. Ia mengatakan Korsel berharap perusahaan-perusahaan Jepang juga akan memberikan kontribusi sukarela ke yayasan tersebut.
"Kami membandingkannya dengan segelas air, saya gelasnya hanya setengah penuh, kami berharap kelasnya lebih penuh ke depannya dengan respon Jepang yang tulus," kata Park, Senin (6/3/2023).
Di hari yang sama Yoon mengatakan langkah Korsel "tekad untuk melangkah maju hubungan Korea-Jepang yang berorientasi masa depan." Ia mengatakan kedua negara harus saling membantu agar hubungan mereka memasuki era baru.
Pemerintah Korsel tidak menjelaskan lebih rinci perusahaan mana saja yang akan membiayai yayasan ini. Tapi pada bulan Januari, ketua dewan Yayasan untuk Korban Kerja Paksa Kekaisaran Jepang Shim Kyu-sun mengatakan dananya akan berasal dari perusahaan-perusahaan Korea yang mendapatkan untung dari perjanjian normalisasi hubungan Korsel-Jepang tahun 1965.
Perjanjian 1965 diikuti ratusan juta dolar pinjaman dan bantuan ekonomi dari Tokyo ke Seoul yang digunakan dalam proyek-proyek pembangunan yang dilakukan perusahaan besar Korsel, termasuk POSCO yang kini berusaha baja multinasional. POSCO mengatakan akan dengan aktif mempertimbangkan kontribusi pada yayasan bila menerima permintaan resmi.
Jepang bersikeras semua kompensasi sudah selesai dalam perjanjian 1965. Perintah pengadilan Seoul pada perusahaan Jepang memicu pembatasan ekspor bahan kimia ke industri semikonduktor Seoul pada tahun 2019.
Korsel yang saat itu dipimpin Moon Jae-in menuduh Jepang menjadikan perdagangan sebagai senjata dan membalasnya dengan menghentikan kesepakatan berbagi intelijen militer dengan Tokyo yang merupakan simbol kerja sama tiga arah dengan Washington.
Perselisihan ini memperumit upaya AS memperkuat kerja sama dengan dua sekutu Asia dalam menghadapi Cina dan ancaman dari Korut. Dalam pernyataannya Biden mengatakan ia menantikan penguatan hubungan trilateral.
"Negara-negara kami semakin kuat dan dunia lebih aman dan sejahtera ketika kami bersatu," kata Biden.
Ketegangan antara Korsel dan Jepang memicu kekhawatiran terutama setelah Korut meningkatkan aktivitas uji coba senjata dan nuklirnya tahun lalu. Beberapa senjata berkekuatan nuklir Korut dapat menjangkau Korsel dan Jepang.
Pada Senin kemarin AS menerbangkan pesawat bomber B-52 yang dapat membawa senjata nuklir ke Semenanjung Korea dalam latihan bersama dengan Korsel. Dalam pernyataannya Kementerian Pertahanan Korsel mengatakan pengerahan B-52 menunjukkan "kemampuan sekutu yang kuat, dan menentukan" dalam mencegah agresi Korut.
Dalam sidang parlemen Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan ia mempertahankan ekspresi penyesalan dan permintaan maaf atas kesalahan di masa penjajahan. Tapi ia mengatakan masalah restorasi perdagangan merupakan isu yang berbeda.
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan Jepang "mengapresiasi" pengumuman Korsel sebagai langkah untuk memperbaiki hubungan. Tapi ia mencatat perusahan Jepang tidak wajib untuk ikut berkontribusi.
Saat ditanya tentang kegagalan Korsel memastikan perusahaan Jepang berpartisipasi dalam membayar kompensasi kerja paksa. Park mengatakan ia tidak mengharapkan pemerintah Jepang menghalangi "sumbangan sukarela" dari sektor sipil.