REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM mengkritik putusan penundaan Pemilu 2024 yang diketok majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Komnas HAM meyakini putusan itu justru menciptakan ketidakstabilan.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi menyebut putusan ini menjadi isu penting bagi masyarakat. Ia khawatir putusan ini berpotensi berujung kerusuhan.
"Menimbulkan instabilitas politik keamanan, instabilitas inilah situasi pemerintahan yang tidak stabil dan segala macam itu yang akan mengganggu jalannya pemerintahan dan itu berpotensi menimbulkan kerusuhan massal, lalu pergolakan di tingkat daerah," kata Pramono kepada wartawan, Selasa (7/3/2023).
Pramono berharap agar putusan ini tak sampai menimbulkan kerusuhan seperti krisis 1998. Meski demikian, putusan ini tetap rawan mengganggu hajat hidup masyarakat.
"Berpotensi menimbulkan situasi ketidakpastian yang itu akan sangat berdampak pada hak masyarakat untuk mendapatkan hidup dengan tenang, hak bekerja dengan baik, seterusnya, dan itu semua akan terganggu dengan situasi itu," ujar Pramono.
Pramono juga menegaskan, putusan ini sudah menerobos banyak regulasi, termasuk UUD 1945. Akibatnya, hak dasar warga negara untuk memilih pemimpin tiap lima tahun sekali berpeluang dilanggar.
"Putusan PN Jakpus terkait penundaan Pemilu itu kalau menurut kacamata Komnas HAM itu berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya secara reguler setiap 5 tahun sekali," ucap Pramono.
Selain itu, Pramono menyinggung potensi dilanggarnya hak masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang dipilih melalui proses demokratis. Sebab begitu ada penundaan Pemilu maka ada kekosongan kekuasaan karena masa jabatan Presiden habis.
"Nah pemerintah yang memerintah setelah masa jabatan Presiden habis itu kan tidak tidak terpilih melalui proses yang demokratis, padahal hak rakyat adalah mendapatkan pemimpin yang dipilih melalui proses yang demokratis," tegas Pramono.
Sebelumnya, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) pada Kamis (2/3). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika, Kamis (2/3/2023).
Gugatan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. itu menjadikan KPU sebagai tergugat. Gugatan ini diajukan sejak 8 Desember 2022 oleh Prima. Majelis hakim memutuskan menolak eksepsi KPU yang menganggap gugatan Prima kabur atau tidak jelas.