REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Wewangian Internasional (IFRA), yang berbasis di Swiss, bersama dengan Dewan Atsiri Indonesia (DAI) dan Asosiasi Flavor dan Fragran Indonesia (AFFI) menjalin kemitraan untuk pengembangan minyak nilam yang berkelanjutan di Indonesia.
"Proyek kolaborasi ini bertujuan untuk mengatasi masalah keberlanjutan melalui kerja sama dengan industri minyak atsiri, dan dengan fokus khusus pada nilam dan produk turunannya," ujar Ketua Dewan Atsiri Indonesia Irdika Mansur saat penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Sustainable Patchouli (nilam yang berkelanjutan), di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Selain menjaga pasokan, proyek ini sekaligus berupaya memberikan pendapatan yang memadai bagi petani namun dengan tetap memperhatikan masalah lingkungan Indonesia adalah pemasok utama minyak nilam dunia dengan produksi diperkirakan 1.200 hingga 1.500 ton pada 2022. Minyak nilam ini merupakan bahan baku parfum dan juga obat-obatan.
Irdika mengatakan proyek ini akan melibatkan pelaku industri, lembaga akademik dan penelitian, komunitas lokal, serta petani dari berbagai daerah di Indonesia, guna memastikan keberhasilan dalam implementasinya.
Irdika mengatakan untuk mengembangkan minyak nilam di Indonesia tersebut akan dibuat proyek percontohan yang didukung oleh IFRA. Hasil dari proyek percontohan ini diharapkan dapat dikembangkan secara luas.
Presiden IFRA Martina Bianchini mengatakan sebagai organisasi global, IFRA memiliki komitmen jangka panjang terhadap penggunaan wewangian yang aman dalam kehidupan sehari-hari. "IFRA akan terus mendukung perkembangan industri wewangian di seluruh dunia melalui penggunaan wewangian yang aman dan berkelanjutan," katanya.
Sebagai bagian dari upaya ini, katanya, IFRA akan mendanai studi kasus tanaman nilam di Indonesia hingga akhir 2024.
Pada kesempatan ini, Presiden AFFI, Hanny Wijaya menyatakan melalui proyek Indonesia mampu memproduksi bahan baku minyak nilam yang lebih sesuai dengan permintaan dunia sehingga makin mampu meningkatkan nilai tambah.