REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka penggelapan dan pencucian uang, petinggi perusahaan asuransi Kresna belum ditahan penyidik Bareskrim Polri. Korban menduga, kedua orang tersebut: KS dan MS berada di luar negeri
"Kami mengingatkan bahwa indikasi kuat dua tersangka Kresna Life kabur ke luar negeri yaitu Amerika Serikat menghindari proses hukum," ujar advokat Bambang Hartono, selaku pihak kuasa hukum korban dari LQ Indonesia Lawfirm, Selasa (7/3/2023).
Dugaan ini mencuat setelah LQ mengaku memiliki rekaman suara dugaan kongkalikong oknum penegak hukum dengan bos Kresna. Inti dari percakapan rekaman itu ialah memastikan bahwa tersangka takkan diproses hukum lebih lanjut.
"LQ bukan mau menghakimi atau menuduh kepolisian, namun pernyataan Kresna ini harus ditanggapi dengan serius," kata Bambang.
Kekhawatiran ini muncul, kata dia, juga di tengah kaburnya sejumlah tersangka kasus investasi bodong lainnya.
Salah satunya bos Indosurya, Suwito Ayub. Padahal sebelum melarikan diri, pendiri LQ Indonesia Lawfirm Alvin Lim telah mengingatkan penyidik agar dilakukan penahanan.
"Namun ketika itu polisi menolak untuk melakukan penahanan, dengan alasan sudah dicekal," kata Bambang.
Bambang menyampaikan hal ini demi nama baik Polri, pimpinan dan seluruh anggotanya. Agar, citra institusi tersebut terjaga di mata masyarakat, khususnya para korban.
"Kami akan selalu mendukung upaya Dittipideksus Bareskrim memperoleh kembali kepercayaan masyarakat dan memberantas penjahat kerah putih," tandas Bambang.
Kasus itu diawali dengan delapan laporan polisi dari kurun waktu April hingga November 2020 dengan nomor LP/B/0657/XI/2020/Bareskrim tertanggal 18 November 2020.
Kresna Life mengalami gagal bayar pada polis K-LITA dan PIK karena terjadinya masalah likuiditas portofolio investasi dengan alasan ada pandemi Covid-19 di tahun 2020. Oleh karenanya, Kresna Life akhirnya menunda setiap transaksi penebusan polis yang akan dan jatuh tempo sejak tanggal 11 Februari 2020 sampai 10 Februari 2021.
Hanya saja, permasalahan pun berlanjut karena perusahaan juga tak kunjung membayarkan klaimnya. Terakhir, mereka mendapatkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) sepenuhnya dari OJK atas gagal bayar tersebut. Sanksi tersebut pun menjadi alasan bagi perusahaan dengan berdalih tidak mampu membayar hasil homologasi kepada nasabah yang per Februari 2022 senilai Rp 1,37 triliun.
Beberapa nasabah kemudian memperkarakan hal tersebut ke ranah pidana dengan membuat laporan ke Bareskrim Polri.