Rabu 08 Mar 2023 19:28 WIB

Diskusi Deep Talk Indonesia: Rekomendasi Fikih Peradaban NU Manifestasi Keterbukaan

Rekomendasi Muktamar Fikih Peradaban NU mendapat apresiasi

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Deep Talk Indonesia yang digelar Selas (7/3/2023) ini mengambil tema
Foto: Dok Istimewa
Deep Talk Indonesia yang digelar Selas (7/3/2023) ini mengambil tema "Membedah Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqh Peradaban I, Islam Untuk Kemaslahatan Dunia". Dalam diskusi disepakati tentang urgensi hasil rekomendasi Muktamar Fiqih Peradaban NU.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Gerakan Indonesia Optimis (GIO), Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW), dan Center of Intellegence and Strategic Studies (CISS) kembali menyelenggarakan program Deep Talk Indonesia. 

Sebuah program diskusi mengupas tuntas berbagai tema yang kontekstual dan menarik untuk didiskusikan. 

Baca Juga

Deep Talk Indonesia yang digelar Selas (7/3/2023) ini mengambil tema "Membedah Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqh Peradaban I, Islam Untuk Kemaslahatan Dunia".

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi Deep Talk Indonesia antara lain, KH Mahbub Ma'afi (Ketua LBM PBNU), Prof Asep Saefudin Jahar (Rektor UIN Syarif Hidayatulloh, Jakarta), Prof Dzuriyatun Thoyibah (guru besar sosiologi UIN Jakarta) dan dimoderatori Azizah Ratu Buana. 

Ketua LBM NU, KH Mahbub Ma’ai, menjelaskan  dalam rekomendasi Fiqih Peradaban, ada pengakuan bahwa relasi Muslim dengan non-Muslim itu ada sebuah konflik, namun bagaimana peradaban bisa memanajemen konflik tersebut dan melahirkan sebuah perdamaian karena peradaban tidak ada kemajuan tanpa perdamaian.  

“Pengakuan dalam rekomendasi Fikih Peradaban merupakan manifestasi dari sikap keterbukaan dan kejujuran. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa NU melalui rekomendasi mengajak seluruh bangsa untuk berdamai,” kata Mahbub. 

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Asep Saifudin Jahar, menyatakan formulasi fikih peradaban ini menjadi magnum opus NU di paruh abad kedua dalam merespon perubahan dunia. 

Prof Asep menyebut bahwa, sebagai Muslim, kita jangan sampai gagal dalam memahami konteks kemajuan zaman. 

Dia menambahkan, nilai-nilai keseteraan, keadilan, kedamaian, dan hidup toleran menjadi hal paling penting. 

Dalam hal ini, PBB dikatakan berhasil menerjemahkan proses perdamaian internasional melalui perjanjian internasional untuk menghilangkan otoritarianisme. Meskipun tidak semuanya berhasil maksimal.

“Kemajuan peradaban Muslim ditandai dengan tidak adanya lagi pengelompokkan antarumat beragama,” kata dia. 

Sementara itu,  Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof  Dzuriyatun Toyibah menyampaikan pandangannya dalam perspektif keilmuan sosiologi yang terkorelasi dengan praktik Muslim dalam berperilaku toleran dan menjunjung tinggi persatuan. 

“Dan semakin berkembangnya Islam, seorang Muslim akan semakin toleran kepada sesama manusia,” kata Prof Ibah.   

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Ketum GIO, Ngasiman Djoyonegoro, mengapreasi positif atas terselenggaranya diskusi kali ini. Karena diskusi merupakan forum ilmiah dan ruang bertukar pikiran anak bangsa demi menemukan solusi untuk kemajuan bangsa dan negara.  

Selain itu, Simon, begitu akrab disapa, menambahkan dengan diskusi akan menambah ilmu dan pengetahuan bersama sehingga optimisme generasi muda akan terus terjaga.  

Sekjen PB MDHW, Ahyad Alfida’i mengungkapkan rasa syukurnya atas kolaborasi yang terjalin antara GIO, PB MDHW dan CISS. 

Dia berharap kolaborasi ini akan terus terjaga dan menghadirkan forum-forum diskusi dan kegiatan yang semakin luas.  

“Melalui rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang diinisiasi Nahdlatul Ulama', semoga Islam rahmatan lil 'alamin berhasil menjadi poros perdamaiaan dunia,” harap Ahyad. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement