REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memaparkan bahwa tren penyakit ginjal kronik terlihat mulai bergeser dari yang semula banyak diderita masyarakat usia lanjut menjadi lebih mengarah pada usia yang produktif. "Jadi bisa kami sampaikan kalau penyakit ginjal ini di dunia, itu penyebab kematian nomor dua. Di Indonesia, dia merupakan penyebab kematian nomor 10," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti dalam Siaran Sehat yang diikuti di Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Eva mengatakan, berdasarkan pantauan Kemenkes sejak tahun 2013, angka prevalensi penyakit ginjal kronis mencapai dua persen. Namun, angka tersebut semakin meningkat di tahun 2018 menjadi 3,8 persen atau sebanyak 739.208 jiwa.
Hal tersebut dapat dilihat melalui data Riskesdas 2018 yang menyebutkan jika prevalensi pasien dengan penyakit ginjal kronis untuk usia 15-24 tahun sudah 1,33 persen. Kemudian di usia 25-34 tahun sudah berada pada angka 2,28 persen.
Selanjutnya untuk usia 35-44 tahun berada pada 3,31 persen, usia 45-54 tahun 5,64 persen, usia 55-64 7,21 persen, usia 65-74 tahun 8,23 persen dan usia 75 tahun ke atas mencapai 7,48 persen.
Bila dilihat dari jenis kelaminnya, laki-laki lebih mendominasi dengan 4,17 persen. Sementara prevalensi perempuan yang terkena ginjal kronis 3,52 persen.
Penyakit ginjal kronis pun, sebanyak 3,85 persen ditemukan di perkotaan. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan perdesaan yang angkanya 3,84 persen. Jika dilihat dari prevalensinya, Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan angka prevalensi ginjal kronis dan terendah berada di Sulawesi Barat.
"Artinya, penyakit ginjal ini mulai meningkat justru pada usia produktif sampai lanjut usia. Kalau kita lihat bonus demografi usia produktif di Indonesia semakin banyak, jika penyakit ini kita tidak turunkan saat menghadapi bonus demografi, ini akan menjadi bencana demografi," katanya.
Eva menyebutkan saat ini, banyak kasus penyakit ginjal kronis ditemukan akibat pasien terkena diabetes tipe 2 dan hipertensi. Adapun faktor risiko lainnya dari penyakit ginjal kronis, namun kondisinya masih bisa diberikan tata laksana medis dan diperbaiki. Misalnya, seperti kasus akibat konsumsi obat pereda nyeri, penggunaan NAPZA dan pasien terkena radang ginjal.
Namun, ada juga faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti bawaan dari riwayat penyakit keluarga, terjadinya kelahiran prematur, trauma di daerah abdomen (rongga tubuh) dan adanya penyakit tertentu yang derita pasien seperti lupus, AIDS dan hepatitis C.
Oleh karenanya, dengan memperingati Hari Ginjal Sedunia yang diperingati pada 9 Maret 2023 besok bisa menjadi momentum masyarakat, untuk mengubah pola hidupnya menjadi lebih sehat. Dengan cara mengatur pola makan yang sehat, rajin berolah raga, menjauhi asap rokok, diet sehat hingga mengelola waktu tidur dan stres dengan baik.
"Tentu kita berharap dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia 2023 ini, bisa menjadi peningkatan kepedulian masyarakat untuk bisa paham, untuk bisa menjaga kesehatannya. Terutama menghindari faktor-faktor risiko, sehingga masyarakat kita lebih sehat dan lebih produktif ke depannya," ujar Eva.