Kamis 09 Mar 2023 13:50 WIB

WHO Pecat Salah Satu Direkturnya yang Dituduh Rasis

Sikap rasial tersebut telah merusak wajah WHO saat penanganan pandemi virus Covid-19.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Logo dan gedung kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss. WHO telah memecat pejabat puncaknya di Pasifik Barat setelah Associated Press melaporkan tahun lalu bahwa lusinan anggota staf menuduh salah satu direkturnya melakukan perilaku rasis, kasar dan tidak etis.
Foto: EPA-EFE/MARTIAL TREZZINI
Logo dan gedung kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss. WHO telah memecat pejabat puncaknya di Pasifik Barat setelah Associated Press melaporkan tahun lalu bahwa lusinan anggota staf menuduh salah satu direkturnya melakukan perilaku rasis, kasar dan tidak etis.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memecat pejabat puncaknya di Pasifik Barat setelah Associated Press melaporkan tahun lalu bahwa lusinan anggota staf menuduh salah satu direkturnya melakukan perilaku rasis, kasar dan tidak etis. Sikap rasial tersebut telah merusak wajah WHO saat penanganan pandemi virus Covid-19.

Dalam email yang dikirim ke karyawan pada Rabu (8/3/2023), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan posisi jabatan Dr Takeshi Kasai telah digantikan, setelah penyelidikan internal menghasilkan adanyatemuan pelanggaran terhadap yang bersangkutan.

Baca Juga

Walaupun, Tedros tidak menyebut nama Kasai, hanya merujuk gelarnya sebagai Direktur Regional di Pasifik Barat. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah WHO memberhentikan seorang direktur regional.

“Ini merupakan perjalanan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menantang bagi kita semua,” tulis Tedros dilansir dari Associated Press. Dia mengatakan proses penunjukan nama direktur regional baru untuk Pasifik Barat akan dimulai bulan depan, dengan pemilihan akan diadakan pada bulan Oktober.

Pemerintah Jepang, yang mendukung pencalonan Kasai untuk peran tersebut, menolak berkomentar. Kasai sebelumnya membantah telah bertindak rasis atau kasar, dengan mengatakan bahwa meskipun dia banyak bertanya kepada stafnya, namun ia seharusnya sadar, perilakunya tidak boleh membuat orang merasa tidak dihargai.

Ringkasan penyelidikan internal WHO yang dipresentasikan pada pertemuan dewan eksekutif badan tersebut minggu ini di Jenewa. Penyelidikan itu menemukan bukti Kasai berkali-kali melecehkan pekerja di Asia, termasuk menggunakan cara komunikasi yang cukup agresif, penghinaan publik, dan membuat komentar rasial.

Direktur senior WHO mengatakan kepada badan pengatur tertinggi organisasi itu bahwa Kasai telah menciptakan suasana tidak nyaman di lingkungan kerja. Dimana anggota staf takut akan pembalasan jika mereka menentangnya dan bahwa ada kurangnya kepercayaan antar karyawan di WHO.

"Para pejabat juga mendapati Kasai memanipulasi, setidaknya satu hasil evaluasi kinerja seorang bawahannya," dari sumber materi rahasia yang diperoleh AP.

Pencopotan Kasai mengikuti investigasi Asossiated Press yang diterbitkan pada Januari 2022, dimana laporan itu mengungkapkan lebih dari 30 staf WHO yang tidak dikenal. Mereka mengirimkan keluhan tertulis tentang Direktur Kasai tersebut kepada para pemimpin senior WHO dan anggota dewan eksekutif organisasi.

Dokumen dan rekaman menunjukkan Kasai membuat pernyataan rasis kepada stafnya dan menyalahkan munculnya Covid-19 di beberapa negara Pasifik. Ia menuding karyawan Asia itu karena kurangnya kapasitas, rendahnya budaya, ras, dan tingkat sosial ekonomi.

Beberapa staf WHO yang bekerja di bawah Kasai mengatakan dia secara tidak benar membagikan informasi sensitif vaksin Covid untuk membantu Jepang, negara asalnya, mencetak poin politik dengan donasi yang ditargetkan. Kasai adalah seorang dokter Jepang yang bekerja di sistem kesehatan masyarakat negaranya sebelum pindah ke WHO, di mana dia telah bekerja selama lebih dari 15 tahun.

Beberapa hari setelah laporan AP, kepala WHO Tedros mengumumkan bahwa penyelidikan internal terhadap Kasai telah dimulai. Tedros memberi tahu staf dalam email Agustus lalu. Selain itu disebutkan bahwa Kasai sedang cuti dan pejabat senior lainnya dikirim untuk menggantikannya sementara.

Pemberhentian pejabat tingkat tinggi seperti itu sangat kontras dengan keengganan WHO, untuk menghukum pelaku perilaku kasar dan terkadang ilegal lainnya. Termasuk pelecehan dan eksploitasi seksual selama epidemi Ebola 2018-2020 di Kongo.

Lebih dari 80 responden yang akhirnya melaporkan bekerja dibawah arahan WHO, rentan mengalami pelecehan seksual atau pengeksploitasian perempuan.

Investigasi AP menemukan manajemen senior WHO diberitahu tentang beberapa klaim laporan eksploitasi pada tahun 2019 lalu, tetapi menolak untuk bersikap, dengan alasan janji dipromosikan ke salah satu manajer yang terlibat.

Sebuah laporan internal PBB baru-baru ini menemukan bahwa tanggapan badan tersebut terhadap satu kasus dugaan eksploitasi tidak melanggar aturan. Ini dikarenakan ada celah dalam cara WHO mendefinisikan korban, sebuah temuan yang oleh para ahli independen digambarkan sebagai sesuatu yang absurd.

Tidak ada pejabat senior WHO yang terkait dengan pelecehan seksual di Kongo yang dipecat meskipun Tedros bersikeras bahwa badan tersebut tidak menoleransi pelanggaran.

“Yang kita butuhkan sekarang adalah konsistensi dalam bagaimana WHO menerapkan aturan tentang pelecehan,” kata Sophie Harman, seorang profesor politik internasional di Queen Mary University of London. “Para penyintas pelecehan dan eksploitasi seksual dari (Kongo) masih mencari keadilan; WHO harus menunjukkan kepada mereka bahwa mereka penting.”

Pada bulan Januari, AP melaporkan bahwa seorang dokter WHO yang berharap untuk menggantikan Kasai sebagai direktur regional di Pasifik Barat sebelumnya menghadapi tuduhan pelecehan seksual.

Dokumen internal menunjukkan manajer senior WHO mengetahui klaim pelecehan seksual di masa lalu yang melibatkan dokter Fiji Temo Waqanivalu, yang juga dituduh menyerang seorang wanita di konferensi Berlin. Dengan dukungan beberapa rekan WHO dan negara asalnya, Waqanivalu bersiap mencalonkan diri sebagai direktur regional.

Javier Guzman, dari Pusat Pembangunan Global, mengatakan sistem peradilan internal yang kuat di WHO masih kurang. “Membuat keputusan pada kasus tingkat tinggi seperti kasus Dr Kasai tidaklah cukup,” kata Guzman.

“WHO dan Dr Tedros harus berbuat lebih baik untuk menjamin bahwa kebijakan zero toleransi atas aksi rasis itu nyata.”

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement