Kamis 09 Mar 2023 17:13 WIB

Alissa Wahid: Perempuan Benteng Kokoh Halau Kekerasan Sejak Dini

Alissa juga menekankan pentingnya kerja sama antara ayah dan ibu dalam keluarga.

Alissa Wahid memberikan sambutan pada acara seminar di Jakarta beberapa waktu lalu.
Foto: Republika/Prayogi
Alissa Wahid memberikan sambutan pada acara seminar di Jakarta beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Segala bentuk tindak kekerasan, baik di sekolah, perkantoran, ataupun di lingkungan tempat tinggal, bersumber dari pola pendidikan yang diterapkan di keluarga masing-masing. Pada tingkatan sosial terkecil yaitu rumah tangga, perempuan memiliki peranan penting dalam menentukan model pengasuhan yang dijalankan bagi anak-anaknya.

Momentum Hari Perempuan Internasional kiranya dapat menjadi pengingat bagi semua tentang pentingnya peranan perempuan dalam lingkup keluarga dan lingkungan. Perempuan diharapkan dapat menjadi benteng yang kokoh untuk menghalau praktik kekerasan sedari dini dari rumah tangganya masing-masing.

Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) yang juga Aktivis Pemerhati Isu Perempuan dan Anak, Alissa Wahid  mengatakan, tingkat pendidikan seorang perempuan sangat berpengaruh terhadap pola asuh yang diberikan kepada anak-anaknya. Praktik kekerasan dalam keluarga yang berulang dan turun temurun banyak disebabkan oleh kurangnya pendidikan yang didapatkan oleh perempuan. Padahal, menggunakan kekerasan dalam mendidik anak adalah cara yang tidak efektif dan hanya menimbulkan trauma berkepanjangan.

“Sudah semestinya kita mendorong perempuan supaya berpendidikan lebih tinggi, walaupun nantinya perempuan tersebut memilih untuk jadi ibu rumah tangga. Harus dipahami bahwa pendidikan yang lebih tinggi itu tidak akan terbuang begitu saja,” ujar Alissa di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Alissa juga menekankan pentingnya kerja sama antara ayah dan ibu dalam keluarga. Putri pertama dari Presiden Ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini mencontohkan, kerjasama yang baik antara kedua orang tua dengan mencapai kesepakatan dalam pembagian peran. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab untuk menendidik sebetulnya  bukan hanya pada ibu, tapi juga ada pada bapak. Walaupun begitu, ia menyadari pada realitanya di Indonesia, beban pendidikan anak lebih banyak diberikan kepada ibu.

“Ini pengalaman pribadi ya. Saya pernah mau ikut camping, lalu tidak diizinkan sama ibu. Alasannya karena Ibu khawatir saat camping laki-laki dan perempuan bareng (dicampur) gitu. Kemudian saya mengadu ke bapak (Gus Dur) dengan harapan akan diizinkan untuk berangkat camping. Waktu itu, Gus Dur menjawabnya begini, ‘urusan pendidikan kalian, ibu itu komandannya. Jadi kalau ibu bilang tidak boleh, bapak ikut ibu.’ Nah, di situ saya belajar banget bagaimana kemudian orang ketika menghormati orang lain itu harus secara utuh gitu loh ya. Tidak ada perkataan, ‘kok pendapatku beda, jadi aku harus begini,’ tidak ada itu. Karena sudah kesepakatan beliau berdua, kalau urusan pendidikan anak, yang akan menjadi jenderalnya adalah ibu. Jadi bapak akan mengikuti ibu,” kenangnya.

Alissa juga mengemukakan bahwa pembentukan karakter anak akan sangat dipengaruhi oleh keluarganya di rumah. Ia memberikan gambaran seperti pada kasus pemukulan yang dilakukan oleh anak dari seorang PNS Ditjen Pajak.

"Akar kehidupan seorang manusia terdapat di keluarganya. Pada kasus Mario Dandy kita melihat cara mengelola keluarga yang diterapkan orang tuanya Mario itu bermasalah. Dengan menggunakan cara-cara yang tidak baik, akhirnya pola asuh tersebut jadi akar (penyebab) kepada anaknya. Memang dimulainya dari keluarga," ungkap wanita yang menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU periode 2022-2027 ini.

Menurutnya, kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy merupakan salah satu contoh dari relasi kuasa. Ia berharap, praktik relasi kuasa ini tidak dilakukan bahkan pada lingkup keluarga karena akan menimbulkan ketidakharmonisan.

"Relasi kuasa itu contohnya seperti pada pemukulan yang dilakukan Mario, karena dia yakin bahwa bapaknya akan bisa menyelesaikan semuanya. Bahkan hal itu yang dia sampaikan ke temannya. ‘Nanti diurus bapakku.’ Dia pakai relasi kuasa. Ketika dia melakukan penyiksaan, dia pakai relasi kuasa. Karena dia merasa sebagai anak orang yang lebih berkuasa, kemudian menghajar orang yang dipandang sebagai rakyat jelata. Dia (Mario) tidak tahu siapa keluarga David (korban), sehingga korban diperlakukan sebagai orang kebanyakan atau rakyat kecil. Itu relasi kuasa,” jelas Alissa.

Ia berharap perempuan Indonesia memiliki kemauan untuk terus mengembangkan dirinya. Dengan semakin berkembang dan bertambahnya pendidikan serta wawasan yang didapat, diharapkan kaum perempuan dapat memiliki kontribusi yang lebih baik di lingkup keluarga dan masyarakat.

"Dari sikap tumbuh dan mau belajar terus menerus itu, kita bisa berproses menjadi perempuan yang baik untuk dirinya sendiri. Kemudian yang kedua, dia bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Lalu yang ketiga, dia baik dalam kehidupan bermasyarakat," kata Alissa.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement