REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, AS, menyatakan, jumlah tentara Rusia yang tewas dalam satu tahun perang di Ukraina melebihi total 16 aksi militer Rusia dan Uni Soviet sejak Perang Dunia Kedua. Menurut lembaga itu, angka korban tewas dari pasukan Rusia setiap bulan pada tahun pertama invasi mereka di Ukraina 25 kali lebih banyak dibandingkan perang Rusia-Chechnya yang berlangsung dua periode.
"Kemudian, 35 kali lebih tinggi dibandingkan perang Uni Soviet-Afghanistanselama 10 tahun. Korban tewas di pihak Rusia lima kali lebih banyak dibandingkan dengan musuhnya, Ukraina, yang totalnya mencapai 70.000 serdadu," tulis CSIS, seperti dikutip Daily Mail pada Jumat (10/3/2023).
Dalam dua kali perang melawan Chechnya selama 15 tahun, Rusia kehilangan 13 ribu sampai 25 ribu tentara. Jumlah tentara Rusia yang tewas dalam setahun perang di Ukraina lima kali lebih banyak dibandingkan tentara Rusia yang tewas dalam 15 tahun perang Rusia-Chechnya.
Di antara tentara Rusia yang menjadi korban tewas pertama dalam invasi ke Ukraina itu berasal dari resimen-resimen pasukan elite mereka. Sementara itu, menurut laporan The Guardian dalam lamannya pada Jumat, pasukan Ukraina masih bertahan di Bakhmut sekalipun kota di Ukraina timur itu, yang dianggap strategis oleh Rusia dan Ukraina, sudah dikepung dari sisi selatan, utara dan timurnya.
Ukraina kini dengan sekuat tenaga mempertahankan kota itu sekalipun sudah kehilangan begitu banyak tentara di sana. The Guardian melaporkan bahwa di medan perang ini, 100 sampai 200 tentara kedua belah pihak tewas atau terluka setiap hari.
Pilihan Ukraina itu diambil karena alasan politis, ketimbang militer. Asumsi ini bahkan diutarakan oleh serdadu Ukraina sendiri yang bertempur di Bakhmut.
"Menurut saya, alasannya politis," kata Andriy, wakil komandan distrik Donetsk yang bertempur di Bakhmut, tanpa disebutkan nama belakangnya oleh The Guardian.
"Posisi (kami) sudah siap untuk mundur. Alasan mereka (tentara Ukraina) masih di sana adalah lebih karena politik," tambah Andriy.