REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, case fatality rate difteri jauh lebih tinggi dibanding Covid-19. Menurut dia, secara nasional, satu dari empat anak yang terkena difteri meninggal dunia.
“Paling tinggi ada di Garut, dua dari tiga anak yang tertular difteri meninggal dunia,” kata Piprim dalam diskusi daring, Jumat (10/3/2023).
Menurutnya, hal itu sangat disayangkan. Terlebih, saat ini banyak anak yang mulai terkena penyakit yang sejak dulu bisa ditangani melalui vaksinasi itu.
“Pencegahannya ada, gratis sejak pemerintahan Pak Harto. Tapi masih banyak menolak vaksinasi, padahal fatalitas sangat tinggi,” kata dia.
Ihwal mendapat vaksinasi, dia mengingatkan adanya risiko pada anak-anak tertular yang besar. Menurutnya, jika anak-anak ada yang mampu bertahan dari penyakit itu, bisa dipastikan mendapatkan risiko lanjutan.
“Pengobatan ribet, diberi anti racun, isolasi, dan dilubangi leher anak. Saat mau dipulangkan setelah perawatan, jantung bisa berhenti tiba-tiba,” ucap Piprim.
Hal itu, kata dia, karena ada efek gangguan listrik pada jantung setelah pengobatan difteri. Risikonya, anak perlu dipasangkan alat picu jantung yang berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah.
“Pencegahannya justru mudah, bagaimana mau turunkan angka kematian anak dan balita, kalau vaksinasi pun ditolak. Padahal gratis,” jelas dia.
Menurutnya, orang tua wajib memberikan anak vaksinasi difteri (DPT-HB-Hib, DT dan Td). Piprim menambahkan, satu-satunya solusi bagi anak adalah mendapatkan vaksinasi.