Sabtu 11 Mar 2023 00:28 WIB

Paloh Sebut Hukum Rimba Pindah ke Kota: Siapa Kuat, Dia Dapat

Elemen hukum saat ini tidak menjalankan dengan baik asas kepatutan dan kepantasan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Jumat (10/3).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Jumat (10/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh menyoroti kondisi hukum Indonesia saat ini. Menurutnya, elemen hukum yang ada saat ini tidak menjalankan dengan baik asas kepatutan dan kepantasan dalam menghadirkan keadilan yang baik.

"Maka bersiaplah, kita untuk menerima kenyataan--memindahkan sebenarnya--sudah terpindahkan itu kalimat yang tepat, terpindahkannya hukum rimba ke kota. Ini yang kita hadapi hari ini, siapa kuat dia yang dapat," ujar Surya Paloh dalam pidatonya di Silaturahmi Nasional (Silatnas) ke-3 Badan Advokasi Hukum Partai Nasdem, Jumat (10/3).

Jika asas kepatutan dan kepantasan dalam menjalankan pembangunan hukum tak dijaga, hasilnya adalah semakin tingginya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dinilai tak dapat mencegah hal tersebut semakin merebak di bangsa ini.

"Semakin kita lahirkan gerakan antikorupsi, bahkan melahirkan lembaga extraordinary KPK, indeks korupsi kita bukan semakin berkurang, bukan hanya indeksnya, tapi kualitasnya semakin berkurang kuantitas, kualitas. Ini yang harus kita sadari," ujar Surya Paloh.

Prinsip keadilan dalam hukum juga dikritiknya, karena tak lagi diperankan secara baik. Saat hukum seakan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan saja.

Ia bahkan menyindir percumanya belajar hukum. Karena pada saat yang bersamaan, akan lebih menentukan orang yang memiliki kuasa ketimbang ilmu hukum yang sudah dicari

"Boleh percaya atau tidak, satu teman yang berkuasa jauh lebih menentukan daripada 1.000 literatur yang kita baca selama 10 tahun dalam menyelesaikan perkara. Ini yang kita hadapi, suka atau tidak suka," ujar Surya Paloh.

Suka tidak suka, jelas Surya Paloh, hal tersebut tengah terjadi dalam proses pembangunan hukum di Indonesia. Saat banyak pihak mengesampingkan nalar dan berhadapan dengan kondisi objektif.

"Untuk apa kau baca nalar itu, referensi begitu banyak, kau cuma perlu memukul-mukul bahunya saja. Nah kita di sinilah istilahnya dalam perjalanan kehidupan dialektika dan romantikanya kehidupan ini," ujar Surya Paloh.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement