REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti maraknya kasus anak bacok-bacokan di berbagai wilayah Indonesia. KPAI memandang hal ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya pencegahan.
Berdasarkan data KPAI sepanjang 2022, terdapat 502 kasus anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis atau tertinggi kedua setelah kasus anak menjadi korban kejahatan seksual (834 kasus).
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan/atau psikis kepada anak di antaranya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak.
"Memang ada kecenderungan masyarakat kita hari ini tentang kekerasan fisik ini begitu tinggi, besar ya sehingga ini menjadi alarm yang sudah berbunyi sangat keras untuk kita lakukan langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah akurat hingga penanggulangan," kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada Republika.co.id, Sabtu (11/3/2023).
KPAI terus mendorong peran keluarga, aparat penegak hukum, ketua RT/RW, dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah ini. KPAI mengajak semua pihak meningkatkan kesadaran dan pemahamannya terkait kenakalan remaja yang menjurus aksi kriminal.
"Kenakalan remaja tawuran itu perilaku yang sejak orang tua kita sekolah jaman dulu pun banyak, tapi eskalasinya kok hari ini seperti percikan api. Seperti korek api yang sangat mudah sekali dipercik dilakukannya," ujar Maryati.
Maryati mengamati anak pada masa saat ini tak lagi sekedar menggunakan kekerasan untuk menunjukkan jati. Mereka bahkan siap membunuh lawan untuk membuktikan diri.
"Tingkatannya itu bukan duel 1 lawan 1 seolah ingin jadi jagoan, nggak begitu lagi. Tapi ingin menghabisi seseorang ingin merampas nyawa seseorang. Jadi eskalasinya itu sangat luar biasa," ucap Maryati.
Pada titik ini, Maryati memandang aksi kekerasan remaja tak lagi bisa disebut kenakalan remaja. "Ini yang saya soroti sebagai kenakalan remajanya mengarah pada praktik melawan hukum ya," lanjut Maryati.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Pemerintah menguatkan program berbasis anak. Mereka mesti dipandang sebagai subjek pembangunan sehingga dilibatkan dalam perkembangan wilayahnya, seperti disertakan dalam Musrembang. Dengan demikian, anak punya penyaluran positif.
"Jelas ini problem besar gitu ya. Pemerintah harus betul-betul memiliki kepedulian tinggi," ucap Maryati.
Sebelumnya, Polres Sukabumi mengamankan belasan pelajar tingkat SMP yang terlibat dalam penganiayaan yang menyebabkan seorang anak RM (12 tahun), siswa Sekolah Dasar (SD) meninggal dunia. Ada 14 orang pelajar yang diamankan dan tiga di antaranya ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Ketiganya yakni ABH 1 sebagai eksekutor, ABH 2 sebagai pembonceng eksekutor, dan ABH 3 sebagai penyedia senjata tajam jenis cerulit yang digunakan untuk membacok korban.
Maruly menuturkan, penganiayaan ini berawal dari para pelaku ada acara di Pantai Palabuhanratu Sukabumi konvoi dengan sepeda motor pada Sabtu (4/3/2023) lalu.
Pada kasus lain, polisi mengungkapkan motif para pelaku pembacokan terhadap seorang pelajar berinisial FNS (16 tahun) di Bandung karena tersinggung dengan komentar korban terhadap kelompoknya di media sosial Tiktok. Peristiwa pembacokan diduga dilakukan lima orang itu terjadi di depot pengisian air Jalan Riung Hegar, Kota Bandung, Kamis (23/2/2023) lalu.
Polisi berhasil menangkap tiga orang pelaku. Sedangkan dua orang lainnya masih tahap pengejaran.